"Assalamu'alaikum, aku pulang."
Aku memarkirkan sepeda di halaman rumah, kemudian melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu. Sistem keamanan rumah men-scan mataku, kemudian aku membuka pintu rumah yang sudah tak terkunci.
"Dari mana? Ini sudah lebih 20 menit dari jam-jam normal kamu sampai rumah. Bukannya kamu cuti hari ini?"
Suara berat nan dingin terdengar tepat ketika kedua kakiku menapak lantai ruang tamu.
Itu... Papa.
Ia sedang berdiri di depan TV, menatapku dengan tajam sambil melipat lengan di dada.
"Tadi aku beli alat jahit, titipan Mama."
"Terus? Pasti kamu mampir dulu ke tempat lain. Ke toko alat jahit itu nggak sampai membuatmu telat 20 menit."
Glek. Ya, setelah balapan kecil-kecilan dengan Fian, aku memang diajak mampir dulu ke rumahnya yang memang dekat dengan rumahku. Aku diajak berbincang-bincang oleh bundanya. Tapi sekitar 10 menit kemudian, aku bergegas pulang. Aku tidak menyangka Papa pulang lebih awal. Biasanya Ia pulang tengah malam. Dan Papa sangat tidak suka jika aku dekat dengan seorang laki-laki, tidak peduli walau kami teman sesama detektif.
"Kalau ditanya itu jawab!"