Mohon tunggu...
Dimas Ammar
Dimas Ammar Mohon Tunggu... Mahasiswa Akuntansi

Doing the best i can in studying accounting

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Cukai Rokok, Pendapatan atau Risiko?

21 September 2025   15:33 Diperbarui: 21 September 2025   15:33 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cukai Rokok; Sumber: Antarafoto

Jakarta -- Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia. Survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat ada sekitar 70 juta perokok aktif, termasuk 7,4 persen anak dan remaja berusia 10--18 tahun. CNBC Indonesia juga menempatkan prevalensi perokok di angka 38,2 persen, posisi kedelapan tertinggi secara global. Kondisi ini menunjukkan bahwa rokok bukan lagi sekadar pilihan gaya hidup, melainkan persoalan serius yang menyentuh ranah kesehatan, sosial, dan ekonomi.

Industri Rokok: Antara Kontribusi dan Beban

Dari sisi ekonomi, industri rokok masih menjadi salah satu penopang utama penerimaan negara. Cukai hasil tembakau menyumbang lebih dari 90 persen penerimaan cukai nasional dan menyerap jutaan tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, pabrik, hingga distribusi.

Namun, di balik kontribusi itu, terdapat beban besar. Konsumsi rokok yang tinggi menimbulkan lonjakan biaya kesehatan, peningkatan penyakit tidak menular, serta turunnya produktivitas tenaga kerja. WHO (2023) mencatat asap rokok menyebabkan 1,3 juta kematian setiap tahun, sebagian besar menimpa bukan perokok.

Kenaikan Tarif vs Rokok Ilegal

Kebijakan pemerintah menaikkan tarif cukai tiap tahun bertujuan menekan konsumsi. Tetapi praktik di lapangan menunjukkan paradoks. Banyak perokok bukannya berhenti, melainkan beralih ke rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah.

Direktur Eksekutif Indodata Research Center, Danis Saputra Wahidin, menyebut peredaran rokok ilegal meningkat signifikan, bahkan ditemukan mencapai 46 persen pada 2024. Pergeseran konsumsi ini merugikan negara dan justru melemahkan tujuan kesehatan publik.

Kerugian fiskal pun tidak kecil. Media Indonesia (2025) melaporkan potensi kehilangan penerimaan negara mencapai Rp97,81 triliun akibat maraknya rokok ilegal. Lebih parah lagi, produk ilegal sering mengandung nikotin dan tar lebih tinggi dibanding produk legal, sehingga risiko kesehatan masyarakat makin meningkat.

Upaya Pemerintah dan Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi masalah tersebut, sejumlah langkah perlu diprioritaskan. Pertama, penyederhanaan struktur tarif cukai. Saat ini tarif terbagi dalam sepuluh lapisan, yang justru memberi celah bagi perusahaan untuk mengakali produksi agar masuk golongan tarif lebih rendah. Penyederhanaan diharapkan dapat menutup celah tersebut.

Kedua, memperketat pengawasan distribusi. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada 2025 membentuk Satgas Pemberantas Rokok Ilegal sebagai komitmen jangka panjang. "Dengan pembentukan satgas ini, kita berharap tercipta ekosistem peredaran barang kena cukai yang legal dan berintegritas," kata Dirjen Bea Cukai Djaka Budhi Utama.

Ketiga, digitalisasi pita cukai. Pita cukai konvensional mudah dipalsukan, sementara Filipina terbukti berhasil menekan peredaran rokok ilegal hingga 85 persen setelah menerapkan pita digital dengan kode QR pada 2014 (World Bank, 2019).

Keempat, optimalisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Pada 2023, jumlahnya mencapai Rp5,47 triliun, namun penggunaannya kerap dianggap tidak fokus pada kesehatan. Dana ini semestinya diarahkan untuk membiayai layanan BPJS terkait penyakit akibat rokok, memperluas edukasi di sekolah, dan membantu petani mencari alternatif ekonomi.

Terakhir, transparansi dan keterlibatan publik. ASEAN Tobacco Control Atlas (2022) menilai rendahnya transparansi membuat kebijakan tembakau di Indonesia kurang efektif. Laporan tahunan yang terbuka soal pemanfaatan DBHCHT bisa menjadi langkah awal agar publik dapat menilai capaian kebijakan secara objektif.

Penutup

Paradoks kebijakan cukai rokok memperlihatkan dilema besar bagi Indonesia. Di satu sisi, industri ini menyumbang penerimaan negara dan membuka lapangan kerja. Di sisi lain, konsumsi rokok menimbulkan kerugian kesehatan dan produktivitas, sementara peredaran rokok ilegal merusak tujuan fiskal dan perlindungan masyarakat.

Dengan pengawasan yang lebih ketat, penerapan pita digital, pemanfaatan dana cukai yang tepat sasaran, serta transparansi yang melibatkan publik, kebijakan cukai rokok dapat menjadi instrumen yang tidak hanya menambah kas negara, tetapi juga melindungi generasi mendatang dari bahaya tembakau.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun