Ketiga, digitalisasi pita cukai. Pita cukai konvensional mudah dipalsukan, sementara Filipina terbukti berhasil menekan peredaran rokok ilegal hingga 85 persen setelah menerapkan pita digital dengan kode QR pada 2014 (World Bank, 2019).
Keempat, optimalisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Pada 2023, jumlahnya mencapai Rp5,47 triliun, namun penggunaannya kerap dianggap tidak fokus pada kesehatan. Dana ini semestinya diarahkan untuk membiayai layanan BPJS terkait penyakit akibat rokok, memperluas edukasi di sekolah, dan membantu petani mencari alternatif ekonomi.
Terakhir, transparansi dan keterlibatan publik. ASEAN Tobacco Control Atlas (2022) menilai rendahnya transparansi membuat kebijakan tembakau di Indonesia kurang efektif. Laporan tahunan yang terbuka soal pemanfaatan DBHCHT bisa menjadi langkah awal agar publik dapat menilai capaian kebijakan secara objektif.
Penutup
Paradoks kebijakan cukai rokok memperlihatkan dilema besar bagi Indonesia. Di satu sisi, industri ini menyumbang penerimaan negara dan membuka lapangan kerja. Di sisi lain, konsumsi rokok menimbulkan kerugian kesehatan dan produktivitas, sementara peredaran rokok ilegal merusak tujuan fiskal dan perlindungan masyarakat.
Dengan pengawasan yang lebih ketat, penerapan pita digital, pemanfaatan dana cukai yang tepat sasaran, serta transparansi yang melibatkan publik, kebijakan cukai rokok dapat menjadi instrumen yang tidak hanya menambah kas negara, tetapi juga melindungi generasi mendatang dari bahaya tembakau.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI