Matahari sudah tak bersahabat. Udara panas menempel lengket di kulit. Tanah retak di ladang jagung, seolah-olah mengeluhkan dahaga yang tak kunjung terobati. Di teras gubuk bambu, Kiki dan Dani duduk terdiam, memandang langit yang putih pucat.
"Janji, kan, Ki? Kalau hujan datang, kita langsung ke danau. Kita main air sampai puas," ucap Dani, memecah keheningan.
Kiki mengangguk lemah. "Iya, Jan. Tapi kapan? Sudah tiga bulan lebih tidak ada hujan."
Wajah Dani berubah murung. Kekeringan ini memukul keras desa mereka. Sawah-sawah gagal panen, dan sumur-sumur mulai kering. Ayah Dani yang biasanya selalu ceria, kini sering terlihat kelelahan dan cemas. Puncaknya, hari ini ayah Dani mengatakan mereka harus menjual kambing kesayangan mereka, satu-satunya kambing yang masih gemuk dan sehat, untuk membeli air bersih.
"Ayah bilang, kita harus jual Gombloh," kata Dani, suaranya serak. "Satu-satunya harapan kita..."
Kiki tahu benar betapa berartinya Gombloh bagi Dani. Kambing itu hadiah ulang tahunnya dan selalu menjadi teman bermainnya. Kiki juga tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia teringat celengan bambunya di bawah kasur. Uang hasil tabungannya dari membantu kakeknya berjualan singkong rebus. Jumlahnya tidak seberapa, tapi mungkin cukup untuk membeli beberapa galon air.
Malam harinya, Kiki diam-diam menyelinap ke rumah Dani. Ia mengetuk pelan pintu depan.
"Ki? Ada apa?" tanya Dani, terkejut melihat Kiki di depan rumahnya di tengah malam.
Kiki menyerahkan celengan bambunya. "Ini, ambil saja. Untuk beli air. Jangan jual Gombloh."
Dani menatap celengan itu, lalu beralih menatap Kiki. Matanya berkaca-kaca. "Ki... ini semua uangmu. Tabunganmu..."