Hujan turun deras di luar jendela kedai kopi "Senja", membuat suasana menjadi semakin hangat dan nyaman. Aku sedang membaca buku sambil sesekali menyeruput Americano-ku yang sudah hampir dingin. Di meja seberang, seorang gadis dengan sweater tebal terlihat sedang menulis sesuatu di buku catatannya. Sesekali ia menghela napas, terlihat frustasi.
Akhirnya, dia mengacak-acak rambutnya, menutup buku catatan itu dengan keras.
Aku tersenyum kecil. "Sepertinya kamu sedang ada masalah dengan tulisanmu," kataku, memecah keheningan.
Gadis itu terkejut. "Oh, maaf kalau suaraku terlalu keras. Iya, buntu ide."
"Aku paham. Terkadang, ide itu datang saat kita tidak mencarinya," ujarku sambil menunjuk buku di tanganku. "Aku malah sering dapat ide dari hal-hal yang tidak terduga."
Dia tersenyum tipis. "Boleh aku tahu namamu? Aku Naya."
"Aku Rian," jawabku. "Kamu menulis apa?"
"Sebuah novel. Tentang sebuah rahasia keluarga yang tersembunyi di masa lalu," katanya, matanya memancarkan kegelisahan. "Tapi aku tidak tahu harus memulai dari mana. Rasanya, terlalu berat."
Aku mengamati ekspresi Naya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kesulitan menulis. "Ini cerita fiksi, kan? Kenapa terlihat begitu personal?" tanyaku hati-hati.
Naya terdiam sejenak. "Sebenarnya... ini bukan fiksi sepenuhnya. Ini kisah nenekku. Beliau... baru saja meninggal. Dan sebelum itu, ia berpesan untuk mencari sebuah kotak kecil di bawah pohon mangga di halaman rumahnya. Tapi kami tidak pernah menemukannya."