2.2. Jenis Sastra
Salah satu kekhasan Injil Yohanes adalah memakai dialog untuk mengajarakan inti pewartaan Yesus kepada pembaca. Konkretnya, pengarang Injil menampilkan adegan Yesus yang terlihat dialog dengan tokoh-tokoh yang menjadi wakil tertentu bagi masyarakat tertentu. Di dalam injil Yohanes, dialog sering disusun sedemikian, sehingga lawan bicara seolah-olah menghilang dari percakapan dan dialog, berubah menjadi monolog. Artinya, Yesus yang memulai pembicaraan namun selanjutnya pendengar menghilang dan perkataanNya berubah menjadi wejangan.[7]
Dalam Injil Yohanes juga ada karakter berupa wejangan yang menjelaskan tanda, tema atau peristiwa yang dibicarakan. Jenis ini tampak mencolok dan dipakai untuk mengungkapkan perasaan hati yang bergejolak dalam diri para pelaku atau untuk menyatakan makna suatu peristiwa. Jenis ini tidak hanya untuk menghias cerita, karena ditengah-tengahnya pengarang Inji sering mengungkapkan makna historis peristiwa atau gagasan. Demikian pula pada perikop tentang pemanggilan murid-murid pertama ini.
Pada perikop Yohanes 1:35-45, nampak jelas jenis sastra yang diungkapkan yakni berupa (Pidato) atau seruan yang lantang yakni “Lihatlah Anak Domba Allah”. Seruan ini begitu menggema dan memiliki energi tersendiri sehingga menarik perhatian serta menggugah hati kedua muridnya untuk mengikuti Yesus. Jenis sasatra dalam perikop ini berupa pidato dikarenakan Yohanes melantangkan siap itu Yesus. Identitas Yesus, atas hal ini mendorong dan menyentuh emosi dari kedua muridnya. Dimana setelah kesaksian yang diberikan Yohanes meeka pun mengikutiNya.
Injil Yohanes juga menggunakan gaya sastra dialog dalam menamplkan kisah-kisah injilnya. Dialog adalah percakapan langsung yang terjadi di antara dua orang atau lebih, atau antara kedua belah pihak. Dalam kisah pemanggilan murid-murid pertama terdapat gaya sastra dialognya, di mana sesi dialognya terdapat dalam perikop ini, misalkan percakapan antara kedua murid yang mendengar perkataan Yesus dengan Yesus sendiri (ayat 38-39).
2.3. Filologi