Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mohon Maaf Yang Mulia, Ini Dua Perbuatan Tercela Hakim Konstitusi

21 Juli 2022   13:03 Diperbarui: 21 Juli 2022   13:07 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: Sekretariat Kabinet

Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini frasa luhur yang tayang dihalaman depan setiap putusan Mahkamah Konstitusi. Tersirat Mahkamah Konstitusi berikrar akan mengadili perkara konstitusi melebihi dari tugas resmi yang tertulis dan mempertanggungjawabkanya di alam akhirat.

Para Hakim Konstitusi yang mulia termaksud perlu semaksimal mungkin menggali nilai-nilai keadilan, persamaan, demokrasi yang pelaksanaanya didasarkan atas asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang tujuannya, in casu UU Pemilu, adalah meningkatkan perbaikan di bidang politik khususnya Pemilihan Presiden, sebagaimana tertuang dalam UU 42/2008," juncto UU No. 7/2017.

Namun, ironi. Sangat menyesakkan dada. Lain ikrar lain perbuatan!

Ahmad Yani, Ketum Partai Masyumi, mengatakan bahwa Hakim Konstitusi mengingkari hak rakyat yang tertuang dalam Pembukaan UUD tahun 1945 (FusllatNews). Lebih galak dan serem lagi, Effendi Gazali mengatakan Hakim Konstitusi sontoloyo. Rocky Gerung, aktivist Pro Demokrasi, memplesetkan singkatan MK menjadi Mahkamah Kedunguan dan Yusril, Ketum Partai PBB,  mengatakan bahwa Hakim Konstitusi adalah anteknya Oligarki. Klik disini. 

Kesemua itu melecehkan martabat Hakim Konstitusi. Amblas harga diri, dignity, Hakim Konstitusi, jika kesemua hal tersebut benar adanya.

Diatasnya, tuduhan Hakim Konstitusi adalah anteknya Oligark merupakan tuduhan yang super serius. Kenapa? Oligark itu adalah orang yang sangat sangat kaya yang menggunakan kekayaanya dalam dunia politik. Tujuan oligark, menurut Prof Winters, hanyalah semata-mata mempertahankan kekayaan nya. Dengan demikian, patut diduga para oligark itu tidak memiliki sense of nationalism apalagi sense of heroism. Tentu ini kurang lebih setara dengan narasi "Indonesia lenyap sebelum tahun 2030", bukan lah urusan para oligark itu.

Saya Panca Sila. NKRI harga mati. Jika, Anda setuju dengan kedua frasa ini, maka... bersuara lah! Speak Up!

Kita berharap Para Hakim Konstitusi tidak mempolisikan tokoh-tokoh nasional diatas. Kritikan super tajam itu jangan disetarakan dengan ujaran kebencian, penghinaan dan penodaan nama baik. Ini sesuai dengan pandangan Prof Mahfud MD, yang sekarang menjabat sebagai Menko Polhukum Kabinet Jakowi-Ma'ruf Amin. Menurut Beliau esensi demokrasi adalah sanggahan dan klarifikasi jika pejabat publik, termasuk Hakim Konstitusi, mendapat kritikan setajam apapun kritik itu.

Sambil menunggu sanggahan dan/atau klarifikasi dari Para Hakim Konsitusi yang mulia, berikut ini penulis sajikan dua perbuatan Hakim Konstitusi yang tercela. Ini analisis penulis loh dan ini bersumber dari pengalaman penulis sebagai penggugat utama perkara no. 42/2022. Penulis dan tiga rekan lainnya menggugat Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu tahun 2017. Selain itu, tulisan ini juga digali dari berbagai putusan MK terkait pengujian UU Pemilihan Umum (UU tahun 2008 dan UU tahun 2017).

Kedua perbuatan Hakim Konsitusi yang tercela dimaksud diuraikan sebagai berikut.

1. Pilih-pilih Dalil Hukum Penggugat yang akan dibahas

Pemohon biasanya mengajukan beberapa dalil gugatan (posita) dan beberapa dalil kerugian konsitusionalnya. Kesemua dalil termaksud seharusnya dibahas oleh Hakim Konstitusi. Namun, Hakim Konstitusi umumnya hanya membahas yang disukainya saja terutama yang bermuara pada penolakan dalil-dalil hukum gugatan termaksud.

Misalnya, hal yang demikian dapat dilihat pada Perkara (Putusan) yang terdaftar dengan nomor 42/PUU-XX/2022. Ada dua pasal UU No. 7/2017 tentang Pemilu yang digugat. Pertama, Pasal 222 tentang syarat minimal perolehan kursi atau suara nasional, yang diperoleh Parpol pada Pileg lima tahun yang lalu, untuk mengusung pasangan calon presiden/wakil presiden pada Pilpres sekarang. Pasal ini lebih dikenal sebagai pasal Presidential Threshold atau ambang batas minimal bagi Parpol atau gabungan Parpol untuk mengusung Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden. Kedua, Pasal 223 nya dari UU itu juga. Ini terkait dengan raibnya semangat demokrasi dalam penetapan calon presiden/wakil presiden yang akan diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol.

Disini kami penggugat, sebagai warga negara perseorangan, mengajukan enam dalil kerugian konstitusional atas pemberlakuan Pasal 222 Pemilu tahun 2017. Keenam dalil tersebut masing-masing terkait dengan dalil bahwa : (i) Pembentuk UU mencatut hak warga negara untuk mengusung calon presiden/wakil presiden; (ii) Pemilih hanya disodorkan Pasangan Calon yang dikendalikan oleh oligarki; (iii) Persyaratan ambang batas minimal tidak dilengkapi dengan ambang batas maksimal; (iv) Sangat potensial memunculkan Pasangan Calon tunggal; (v) Penggugat tidak tahu bahwa hasil Pileg 2019 akan digunakan untuk persyaratan pencalonan presiden/wakil presiden pada Pilpres 2024, dan (vi) Norma hasil Pileg lima tahun yang lalu untuk Pilpres sekarang merupakan pembodohon publik.

Mahkamah Konstitusi hanya meringkas tiga dalil kerugian konstitusional penggugat, yaitu butir: (i) Pembentuk UU mencatut hak warga negara; (ii) Pasangan Calon oligarki, dan (v) penggugat kurang paham atau tidak tahu bahwa hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai persyaratan pencalonan Presiden/Wakil Presiden pada Pemilu 2024. Lebih membingungkan lagi, Hakim MK hanya membahas butir (v) saja yang terkait dengan kekurangan paham para penggugat termaksud.

Tambah membingungkan lagi Hakim MK menolak legal standing (kedudukan hukum) para penggugat dengan merujuk ke penolakan legal standing yang tertuang dalam putusan perkara tahun 2020 yang terdaftar dengan nomor: 74/PUU-XVIII/2020. Dalil hukum legal standing kerugian konstitusional para penggugat pada perkara ini jauh berbeda dengan dalil hukum legal standing kerugian konstitusional pada perkara no: 42/PUU-XX/2022 tersebut diatas. Jika argumentasi kerugian konstitusional yang tertuang pada perkara nomor 74 hanya terkait, atau lebih terfokus, pada frasa "20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional,"  maka argumentasi kerugian konstitusional pada perkara no 42 jauh lebih mendasar dan dahsyat yang utamanya terkait dengan pencatutan hak warga negara untuk mengajukan pasangan calon presiden/wakil presiden, angka 20% dan 25%,  dan, pembodohon publik, hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai syarat Pilpres 2024, oleh pembentuk UU.   

Sangat mencekik, dalil hukum yang diajukan oleh MK untuk menolak legal standing para penggugat pada perkara no: 74 diatas sangat di luar nalar akal sehat, yaitu, hanya Parpol yang ber hak untuk menggugat Pasal 222 itu. Ada dua argumentasi Hakim MK untuk mendukung dalil hukum sesat ini. Pertama, Pemilu yang diatur oleh UU No 7/2017 adalah Pemilu Serentak yang berbeda dengan Pemilu-Pemilu tahun sebelumnya. Kedua, konstitusi menyatakan bahwa hanya Parpol atau gabungan Parpol yang ber hak mengajukan Pasangan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden dan dalam hal presiden/wakil presiden berhalangan tetap, maka hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Hakim Konsitusi abai, atau, pura-pura dungu, pada dua prinsip utama legal standing perkara konstitusi. Pertama, setiap warga negara memiliki hak konstitusional dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum. Para penggugat diatas mengajukan argumentasi dan bukti bahwa mereka sangat dirugikan atas pemberlakuan kedua pasal a quo. Ini tidak dibahas dan ujug-ujug Hakim Konstitusi mengatakan hanya Parpol yang memiliki legal standing.

2. Salah Kaprah Bertindak sebagai Wakil Pemerintah

Hakim Konstitusi sering mengambil alih fungsi pemerintah, persisnya, pembentuk UU (pemerintah dan DPR), dalam mengadili perkara konstitusional. Ini kesalahan yang sangat fatal dan tidak dapat ditolerir mengingat pengadilan itu mengadili dua pihak yang berseteru. Pihak pertama adalah penggugat dan pihak kedua adalah tergugat. Ini sudah biasa dalam pengadilan pidana dan perdata. Posisi hakim berada ditengahnya, tidak berpihak baik kepada penggugat maupun kepada pihak tergugat dan  wajib mengambil keputusan yang seadilnya.

Hal yang sama berlaku juga di pengadilan hukum tata negara. Subjek hukum yang digugat adalah undang-undang (UU) yang mencakup pengujian UU atas Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan demikian pembentuk UU, pemerintah dan/atau DPR, adalah pihak yang berwenang untuk menyanggah atau menanggapi gugatan konsitusional ini. Posisi pembentuk UU ini bukan sebagai pihak pemberi keterangan atau informasi semata tetapi posisi sebagai pihak tergugat, yang berarti Hakim Konstitusi wajib menghadirkan pihak pembentuk UU ini. Lebih jauh lagi, Hakim Konstitusi tidak boleh, lebih tegas lagi, dilarang bertindak sebagai wakil pemerintah dan/atau DPR dengan berdalih semua informasi yang diperlukan sudah dimiliki dan oleh karena itu keterangan dari pemerintah dan/atau DPR tidak diperlukan lagi.

Praktek yang ada sejauh ini sungguh bertolak belakang. Sebagian besar, jika tidak hampir seluruh, perkara pengujian konstitusionalitas UU, tidak dihadiri oleh pihak pemerintah dan DPR. Untuk kasus perkara pengujian UU Pemilihan Umum, beberapa yang dihadiri oleh pemerintah dan DPR adalah pada perkara nomor 14/PUU-XI/2013. Satu ya yang baru berhasil penulis temukan dan ini untuk putusan yang menerima sebagian gugatan pemohon. Selebihnya, dari lebih dari 30 perkara, semuanya tidak dihadiri oleh pihak pemerintah dan/atau DPR.

Yes We Can.... Bersama kita bisa.

Kontak: kangmizan53@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun