Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Apakah Proses Pilpres Indonesia Cukup Jurdil?

27 Juni 2019   11:09 Diperbarui: 30 Juni 2019   10:14 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Mahkamah Konstitusi Indonesia (Dok: Tribunnews)

Pada malam 26 Juni kami berdua menyaksikan Talk Show MataNajwa yang disiarkan Trans Tv. Acaranya membahas PHPU Pilpres 2019. Kelincahan dan ketajaman Najwa serta tim panelis yang tidak asing lagi seperti Yusril Mahendra, Denny Indrayana, dan Andre Rosiadi membuat kami berdua betah menyaksikan acara itu hingga episode terakhir. Isteri qu nyeletuk, seru nonton acara ini ya,  Sidang MK sangat membosankan, imbuhnya.

Banyak momen dan isu yang seru disini. Diantara isu itu yang sangat penting bagi kehidupan demokrasi kita kedepan adalah isu pemanfaatan fasilitas dan uang negara untuk pemenangan petahana yang dalam kasus ini adalah Capres JokowiMa'ruf. Pertanyaan intinya adalah apakah Paslon JokowiMa'ruf cukup Jurdil?

Yusril secara diplomatis menyatakan bahwa memang tidak dapat dihindari petahana memanfaatkan fasilitas/uang negara dan/atau BUMN dalam rangkaian kegiatan kampanye Pilpres. Walaupun demikian, kontribusi pemanfaatan pemakaian fasilitas/uang negara/BUMN tersebut tidak menjamin petahana memenangkan Pilpres. Contoh yang diangkat Yusril adalah kasus Capres Megawati dan SBY. Megawati sebagai petahana gagal tetapi SBY berhasil untuk periode kedua.

Yusril juga mengangkat kasus Pilpres Filipina. Di negara ini menurut Yusril tidak ada petahana  sebab Capres terpilih tidak diizinkan untuk menjadi Capres kembali. Ini lanjutnya merupakan bagian untuk memfasilitasi Pilpres yang Jurdi, atau, untuk memfasilitasi terciptanya a level playing field antara petahana dan Capres alternatif (penantang). Dalil Prof Yusril ini didukung oleh Andre Rosiadi (Caleg DPR terpilih Gerindra) yang dalam kata penutupnya yang berapi-api mengatakan akan memperjuangkan masa jabatan Presiden RI hanya satu kali. 

Kompasianer Almizan Ulfa, 23 Januari 2018, tayang artikel dengan judul "Imbas Tahun Politik ke Formasi dan Rekrutmen CPNS," kilik disini. Kompasianer kita ini antara lain menyatakan:

"....ada beberapa pola kebijakan petahana (incumbent), siapa pun pasangan calon presiden dan wakilnya tersebut, yang cenderung berulang dan relatif tidak berubah dari masa ke masa, dari satu pilpres ke pilpres-pilpres yang lainnya, walaupun ini dapat dikatakan sebagai kebijakan kontra produktif. Kebijakan termaksud mencakup banyak program bansos dan subsidi termasuk program kredit untuk wong cilik. Hal yang serupa juga berlaku atas kebijakan formasi dan rekrutmen CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil)." 

Selanjutnya, artikel ini menyatakan:

"Di tahun politik 2004 jumlah PNS melonjak sebesar 1,2% dibandingkan dengan tahun 2003.  Tahun politik 2009 lebih fantastis lagi. Jumlah PNS melonjak sebesar 10,8% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mengalami kenaikan kurang dari satu persen..... Dengan demikian, jumlah PNS di tahun 2018 akan menyentuh angka 4,372,315 (4,4 juta) orang. Selanjutnya, proyeksi sebesar 4,6 juta PNS di tahun politik 2019 dan 4,8 juta orang PNS di tahun 2020 patut untuk diantisipasi."

Perlu kita ingat bahwa jumlah ASN sudah demikian berlebihnya saat ini. Otomatisasi di sektor pemerintahan sudah demikian meluasnya sehingga kebutuhan tenaga manusia terus berkurang. Sayangnya, otomatisasi ini tidak diikuti dengan rasionalisasi kebutuhan ASN.

Mungkin masih ingat pernyataan Ahok ketika menjabat Gubernur DKI dulu. Ahok yang terpidana dua tahun karena kasus penistaan agama itu pernah mengatakan bahwa jika bisa ia akan pangkas separuh pegawai Pemda DKI. Koh Ahok ini yang sekarang bergabung dengan PDIP pernah juga mengatakan bahwa ada pegawainya yang bergaji 25 juta rupiah sebulan yang kerjanya hanya photo copy.

DetikFinance, 16 April 2019, satu hari menjelang pencoblosan Pilpres 2019, klik disini, melaporkan ada 1.000.000 (satu juta) orang membuka akun pendaftaran seleksi bersama rekrutmen pegawai BUMN. Mereka akan memperebutkan sebanyak 11.000 lowongan dari 110 BUMN. Penulis yakin ini lebih bernuansa pencitraan dibandingkan dengan kebutuhan aktual. Kegiatan ini jelas sangat menguntungkan petahana Presiden Jokowi.

Fenomena bertolak belakang terjadi pasca Pilpres 2019. Penulis sempat baca berita seru di DetikFinance, Rabu 26 Juni,  dengan judul "1.300 Karyawan Krakatau Steel Terancam PHK," klik disini. Laporan ini antara lain menyatakan mulai awal bulan ini, 1 Juni, sudah dirumahkan 300 orang tenaga outsource dan bulan depan, 1 Juli akan dirumahkan lagi sebanyak 800 orang tenaga outsource. Pegawai organik (tetap) juga dipertimbangkan untuk di rumahkan.

Yang menggelitik adalah eksekusi PHK baru dilakukan Pasca Pemilu 17 April 2019. Ini patut diduga untuk menghindari penurunan elektabilitas petahana. Dugaan ini cukup beralasan sebab PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sudah mengalami lilitan utang kronis yang posisi terkini berjumlah 40 triliun rupiah. 

Dalam nuansa yang sama baru terkuak juga, 10 Juni 2019,  bahwa BUMN Karya yang ditugaskan untuk membangun infrastruktur jalan tol dan bandara mengalami kesulitan likuiditas. Ini menurut pengamat kebijakan publik, Agung Pembagio, sebagian bersumber dari muatan kemewahan yang terlalu besar sehingga membebani keuangan BUMN Karya tersebut. Silahkan baca, klik disini,  "Dilema BUMN Membangun Infrastruktur - detikNews."

Lebih seru lagi adalah kasus dugaan korupsi Dirut PT PLN 2011 - 2014, Nur Pamudji, yang tersandung dugaan korupsi pembelian bahan bakar diesel (HSD) untuk generator pembangkit listrik PT PLN. Ini kasus lama sebetulnya, kasus tahun 2010 dan dengan taksiran kerugian negara sebesar 188 miliar rupiah. Yang menggelitik adalah kasus ini baru dibuka kembali oleh Polri setelah Pilpres 17 April 2019 dan setelah PHPU gugatan PrabowoSandi ditolak MK pada tanggal 27 Juni 2019. Lihat, misalnya, CNBC Indonesia, 28 Juni 2019, Mantan Bos PLN Nur Pamudji Ditahan, Ada Tumpukan Uang Rp173 M. Klik disini.

baca juga: Melirik Potret Kronis Korupsi dan Utang BUMN. Klik disini.

Perhatian untuk menciptakan A Level Playing Field diterapkan di banyak negara dengan sistem demokrasi yang sudah baik. Di Australia ini dilakukan dalam kaitan utang negara.  Konstitusi mereka menetapkan bahwa APBN negara Kanguru, yang salah seorang Kompasianer Senior kita bermukim, Pak Tjip, harus berpola lima tahun defisit dan lima tahun berikutnya surplus sesuai dengan siklus Pemilu. Dengan kata lain, jika siklus Pemilu yang sekarang pemerintah boleh menambah utang, maka dalam siklus pemilu yang berikutnya pemerintah perlu membuat anggaran surplus yang berarti bukan saja tidak dimungkinkan untuk nambah utang baru tetapi juga perlu membayar utang-utang pemerintah terdahulu. 

Dalam nuansa yang sama, Kompasianer Almizan53 mengusulkan agar beban bunga dan cicilan pokok utang pemerintah setiap tahun tidak boleh melebih 20% APBN. Disini dikatakan bahwa beban bunga dan cicilan pokok utang negara tersebut untuk tahun 2019 berjumlah sekitar 350 triliun rupiah. Silahkan klik disini, "Rasionalisasi Warisan Utang Negara untuk Anak Cucu."

Lebih jauh lagi, banyak hal yang dapat dilakukan untuk lebih menciptakan Pilpres yang lebih Jurdil. Sebagian cukup merevisi UU tetapi sebagian lagi perlu merevisi UUD45. Misalnya, kebijakan pengendalian jumlah utang negara jatuh tempo tersebut cukup dilakukan dengan merevisi UU Keuangan Negara tetapi kebijakan Presiden RI hanya satu periode perlu merevisi UUD45. 

Akhir kata, penulis mengucapkan Selamat pada Paslon Jokowi-Ma'ruf Amin dengan telah berakhirnya PHPU MK 2019.

Salam Kompasianer!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun