Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rasionalisasi Warisan Utang Negara untuk Anak Cucu

22 Juni 2019   10:59 Diperbarui: 22 Juni 2019   11:18 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita sudah sering mendengar suara kecemasan dan ketakutan atas utang negara. Mereka cemas karena utang negara yang posisi terkini sekitar enam ribu triliun rupiah akan membebani anak cucu kita. 

Mereka cemas karena beban bunga dan cicilan pokok utang itu sudah sekitar 20 persen APBN, atau, sekitar 350 triliun rupiah, untuk tahun 2019. Lebih mencemaskan lagi mengingat angka ini bertendensi untuk terus naik dalam waktu dekat ini.

Kondisi beban bunga dan cicilan pokok utang ini perlu dikendalikan. Perlu dikendalikan agar rasio ini tidak melebihi dari angka 20 persen per tahun. Pengendalian seperti ini harus dituangkan dalam UU dengan melakukan revisi atas UU Keuangan Negara yang berlaku sejauh ini. Jika ini dapat dieksekusi, maka anak cucu kita akan bisa tersenyum dan kecemasan kita sudah sedikit berkurang. 

Kecemasan lain yang sering kita dengar terkait dengan tingginya persepsi korupsi dan kebocoran APBN. Wong cilik, mahasiswa, oposisi, akademisi , praktisi, hingga Wapres Jusuf Kalla meyakini bahwa korupsi dan/atau kebocoran APBN memang ada walaupun dengan kadar variatif. Perkiraan angka kebocoran/korupsi itu mulai dari beberapa puluh triliun hingga beberapa ratus triliun dalam setiap tahun anggaran.

Persepsi buruk ini harus dihapus. Ini dapat dilakukan dengan meningkatkan transparansi anggaran terutama untuk tingkat kementerian teknis seperti Kementerian PUPR, ESDM, Polri dan sebagainya. Peningkatan transparansi anggaran juga lebih mendesak dilakukan untuk APBD.

Transparansi anggaran ini perlu diperkuat dengan memperbaiki tata kelola pembelian barang dan jasa pemerintah termasuk pembelian barang dan jasa BUMN. Ini misalnya perlu dilakukan untuk menekan jumlah joki window dressing peserta lelang.

Dalam iklim korupsi dan pemborosan anggaran yang sudah menjadi budaya kita sejauh ini, peningkatan transparansi anggaran dan perbaikan tata kelola lelang masih belum cukup. 

Masih sangat perlu dilakukan dengan UU Pembuktian Terbalik. Maksudnya, Pejabat Negara dan ASN yang tidak dapat membuktikan bahwa harta mereka itu didapat secara legal, maka harta tersebut harus dianggap illegal.

Dua rekomendasi yang pertama masih feasible untuk dilaksanakan oleh Kabinet JokowiMa'ruf, walaupun memang tidak begitu gampang. Rekomendasi yang ketiga yaitu penerapan UU Pembuktian Terbalik sangat sulit untuk diterapkan jika tidak ada gerakan publik yang meluas.

lihat juga artikel: Mengawal Tekad Jokowi Menuju Indonesia Emas 2045 dengan URL

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun