Mohon tunggu...
puspalmira
puspalmira Mohon Tunggu... Freelancer - A wild mathematician

Invisible and invincible IG: almirassanti

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mutar-mutar Seharian di Phnom Penh, Siapa Takut? (Part 1)

9 Agustus 2019   23:36 Diperbarui: 15 Agustus 2019   13:58 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menggembala burung dara di halaman Royal Palace. dokpri

APPETIZER

Untuk liburan tahun 2019 ini saya memilih travelling ke Kamboja. Banyak orang terheran-heran dengan destinasi liburan saya. Ngapain Kamboja? Liburan tuh ya ke Thailand, Singapura, Jepang, Korea.... Ahh.....bagi saya negara-negara itu sudah terlalu populer. Standar.

Saya sengaja memilih tujuan yang lebih 'pelosok'. Lalu mengapa Kamboja? Tahun lalu saya pernah mampir ke Ho hi Minh City, Vietnam, yang tinggal sejengkal lagi menuju perbatasan Kamboja.

Atas dasar rasa penasaran dan excitement saat mengunjungi Ho hi Minh itulah saya jadi tertarik untuk menjelajahi Kamboja juga. Di samping itu, keberadaan seorang kawan asli Kamboja turut mendorong saya untuk berani menjelajahi negara kecil ini.

Jika dihitung-hitung, ini adalah travelling pertama yang saya lakukan dalam rangka murni liburan. (kedua sih, kalau liburan ke Bandung akhir tahun lalu ikut dihitung).

Tanpa embel-embel kuliah, konferensi, maupun olimpiade, saya harus berpikir keras dalam mengatur anggaran karena tidak ada sponsor yang bisa saya mencloki.


Dukungan pertama dari semesta, saya mendapat tiket "Malindo Air" rute Jakarta-Phnom Penh seharga IDR 530.000 termasuk air minum dan bagasi. Hari gini dapet free bagasi itu rejeki sekaliiii.

Secara harga 1 bagasi sendiri bisa nyampe 500 ribu buat 20 kg doang. Dari Surabaya ke Jakarta, lagi-lagi saya dapat rezeki. Saya menumpang bus eksekutif (via tol trans Jawa) "Sinar Harapan" oleh "PT. Sinar Jaya" seharga IDR 158.000 saja.

Harga asli untuk pemesanan online adalah IDR 270.000 sedangkan harga untuk pembelian on the spot adalah IDR 280.000. Kok bisa dapat potongan lebih dari seratus ribu??? Akrab-akrablah dengan "Traveloka", hehehe...

Malindo Air, my favourite budget airline so far...
Malindo Air, my favourite budget airline so far...
Tuh kalo nggak percaya.... dokpri
Tuh kalo nggak percaya.... dokpri
Sekilas panduan untuk mencapai Bandara Soekarno Hatta...

Sebenarnya, angkutan bandara "Damri" sudah tersebar di berbagai titik pemberangkatan. Hanya saja, Damri tidak melayani penumpang selama 24 jam. (Jadwal dan rute bisa dilihat di www.busbandara.com).

Di terminal terpadu Pulo Gebang, Damri terakhir berangkat pukul 19.00 tepat. Karena saya tiba di Pulo Gebang pukul 19.12, saya harus mengejar Damri terakhir yang berangkat dari terminal Rawamangun.

Dari Pulo Gebang ke Rawamangun, saya menumpang Transjakarta seharga IDR 3.500. Jangan khawatir, satu kartu e-money bisa digunakan untuk lebih dari satu penumpang sekaligus. Asal saldonya cukup lah yaaa. Namun kabarnya, sejak dulu pemerintah ingin menerapkan sistem one man one ticket yang sampai sekarang belum berlaku.

Di terminal Rawamangun, Damri terakhir berangkat pukul 20.30 (jadwal yang tertera di web adalah pukul 20.00). Jika tertinggal, bus selanjutnya masih akan berangkat pukul 4 pagi keesokan hari.

Jadi, perhatikan baik-baik jadwal busnya yaaa. Tanpa si Damri ini, kita harus merogoh kocek sampai 200 ribuan untuk menumpang taksi. Oh ya, tarif bus Damrinya hanya IDR 40.000 dan akan diantar sampai terminal berapapun yang kita tuju.

Sampai di Bandar Udara Internasional Phnom Penh...

Hal pertama yang saya lakukan sesampainya di bandara adalah mencari gerai SIM card lokal dan tempat penukaran uang. Saya mengambil tawaran paket data termurah, yaitu Metfone 4.5G seharga USD 5 dengan masa berlaku 7 hari.

Sebenarnya, niat hati terdalam sangat ingin membuang kartu SIM dan koneksi internet dari daftar kebutuhan. Pengeeeeeen gitu bener-bener mbolang murni pakai insting, GPS alias gunakan penduduk sekitar, kompas, dan peta konvensional. Tapi piye ya, bakat nyasar udah terlalu mendarah daging dalam diri saya.

Daripada ndak bisa pulang, mending kesampingkan dulu obsesi mbolang ala orang hutan kayak gitu. Eh tapi dulu pernah berhasil lho mbolang pake peta beneran!

Urusan tukar menukar uang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Walau termasuk negara berkembang, Kamboja sudah menggunakan mata uang Dolar Amerika secara luas.

Pedagang asongan dan penarik bajaj pun menerima dua jenis mata uang yaitu Dolar Amerika (USD) dan Riel Kamboja (KHR) dalam transaksi sehari-hari.

Jangan khawatir akan rugi. Mereka tetap memberikan uang kembalian dalam pecahan Riel jika harga yang dibayarkan di bawah satu dolar. Eitsss tapi di sini semuanya mahal. Hampir nggak ada tuh prentilan-prentilan yang harganya di bawah 1 dolar. Meski begitu, saya tetap menukar uang dengan pertimbangan pasti ribet jika tidak punya 'uang kecil'.

Tuk-tuk jenis ini bsa dipesan melalui aplikasi Grab maupun PassApp. dokpri
Tuk-tuk jenis ini bsa dipesan melalui aplikasi Grab maupun PassApp. dokpri
Grabcar dengan kearifan lokal. dokpri
Grabcar dengan kearifan lokal. dokpri
Selanjutnya, saya langsung memanfaatkan fungsi kartu SIM yang saya beli. Untuk apa lagi kalau bukan memesan ojek. Thanks to Grab to ease my days everywhere. Entah mengapa di Kamboja ini sangat minim kendaraan umum. Setahu saya, bus kota, kereta, ataupun angkutan kota lainnya sama sekali tidak tersedia.

Mereka hanya memiliki taksi dan "tuk-tuk". Tuk-tuk sendiri ada dua macam. Yang pertama tuk-tuk tradisional, bentuknya mirip delman tetapi ditarik oleh motor. 

Tuk-tuk ini mampu memuat 6 orang dengan tempat duduk berhadap-hadapan depan dan belakang. Yang kedua, bentuknya lebih mirip seperti bajaj di Jakarta dan hanya memuat 2 orang. Tuk-tuk jenis inilah yang tergabung sebagai mitra Grab, atau khusus di Kamboja mereka memiliki aplikasi sendiri yang dinamai PassApp.

Bagaimana dengan harga? Tarif minimal yang dipatok adalah sebesar USD 1, sedekat apapun jarak tempuhnya. Untuk perbandingan mana yang murah antara online dan offline, ya tergantung kemampuan tawar menawar kita.

MAIN COURSE

Warung Bali...

Saya mengenal Warung Bali dari para pelancong terdahulu. Hampir semua travel blogger yang berkunjung ke Phnom Penh singgah dan mengulas warung ini.

Dengan sarana Grab tuk-tuk yang saya pesan secara online, warung masakan Indonesia ini menjadi tujuan pertama saya. Sekitar jam 1 siang saya sampai di warung kecil di sebelah National Museum of Cambodia. Tidak mewah, namun ramah, lengkap dan bersahabat. Itulah kesan yang saya dapat pertama kali. Menu makanan di sini bukanlah masakan Bali.

Bukan pula dimiliki oleh orang Bali. Pemiliknya adalah orang Jawa Tengah asli, dua orang bapak asal Indonesia beserta rekan dan karyawan asli penduduk lokal.

Menunya beragam, campuran dari masakan Indonesia dan Kamboja. Sengaja dinamai Warung Bali karena hal yang paling mencolok dan terkenal dari Indonesia bagi mancanegara adalah Bali.

"Oalaah, ditekani wong Jowo", begitu sambutan yang saya dapat pertama kali setelah mengetahui bahwa saya berangkat dari Surabaya.

"Silakan, silakan. Mau numpang shalat, numpang mandi, numpang istirahat, langsung naik aja. Mau jalan-jalan tasnya ditinggal sini saja."  begitulah tawaran manis si Bapak seakan mengerti skenario dalam pikiran saya. Selama perjalanan, saya memang berniat menumpang shalat.

Kalaupun tidak boleh menitip tas, saya bersedia membayar untuk biaya penitipan. Elahdalah ternyata si Bapak sudah menawarkan duluan. Makasih buanyakk lho paaak. Semaput juga saya kalo harus keliling kota gendong carrier 60 liter!!

Interior warung Bali. dokpri
Interior warung Bali. dokpri

Sekilas menu. dokpri
Sekilas menu. dokpri
Pucuk dicinta ulam sudah tiba, saya dengan santainya menikmati hidangan nusantara. Saya memesan gado-gado dan ayam goreng bumbu kecap untuk adik saya. (Nah jadi ketahuan di sini bahwa saya nggak pergi sendiri.

Kali ini saya ditemani oleh seorang adik laki-laki.) Meski kokinya bukan orang Indonesia, rasa gado-gadonya masih oriental. Hanya saja, beberapa sayuran dibiarkan mentah. Gigi saya yang ompong ngalah-ngalahi gigi mbah-mbah sangat kewalahan menggigit kacang panjang yang masih keras.

Untuk ayam gorengnya sendiri, satu porsi berisi 5 potong ayam. Atas bakat kemampuan mengirit yang saya punya, saya hasut adik saya untuk menyisakan 3 potong ayamnya untuk bekal makan malam.

Satu lagi kebaikan bapak pemilik warung, kami diperbolehkan meyimpan sisa ayam kami di dapurnya. Bahkan, beliau sukarela menghangatkannya kembali sebelum saya bawa untuk makan malam.

Patut dicatat, makanan di Kamboja tergolong mahal jika dibandingkan dengan Indonesia. Di kaki lima pinggir jalan sekalipun, harga seporsi makan berat minimal sebesar USD 2.

Enaknya, harga makanan berbahan daging tidak terpaut jauh dengan makanan biasa. Sekali waktu saya mencoba membeli sup, baik yang penuh berisi daging maupun yang hanya berisi sayuran harganya sama-sama USD 2. Terberkatilah kalian-kalian para karnivora.

She is the Queen Mother of Cambodia. dokpri
She is the Queen Mother of Cambodia. dokpri
masih di halaman Royal Palace... dokpri
masih di halaman Royal Palace... dokpri
Tempat ibadah di sekitar Sungai Mekong. dokpri
Tempat ibadah di sekitar Sungai Mekong. dokpri
National Museum of Cambodia dan Royal Palace

Terletak bersebelahan dengan Warung Bali, dua tempat inilah yang saya rencakan untuk dikunjungi. Sebenarnya ada satu lagi yang lebih menarik perhatian saya, yakni Genocide Museum, namun letaknya agak jauh sehingga saya urungkan.

Mengingat bentuk negara Kamboja yang berupa kerajaan, saya merasa Royal Palace adalah kunjungan wajib. Istana besar ini pastilah menjadi ikon dan rumah utama di ibukota. Namun adik saya berkata lain.

"Ndak usah dah. Mahal. Uangnya buat kuliner aja." sampai sekarang saya masih menerka-nerka, dia berkata seperti itu karena memang tidak berminat atau sekadar kasihan sama mbaknya, takut uangnya habis. Hehe.

Saya langsung setuju. Iyawes, lumayan  10 dolar dikali 2 habis banyak juga. Tapi mikir lagi, terus mau ngapain di Phnom Penh seharian ini??

Saya bukanlah saya yang bisa berhenti di tengah jalan. Nyanyian "Just keep walking... just keep walking..." ala Dory di fabel Finding Nemo mampu menyalakan insting mbolang dalam kaki, eh, dalam diri saya.

Tak ada apapun yang bisa diintip dari luar pagar Museum Nasional Kamboja. Saya lebih banyak mengeksplorasi halaman luarnya. Lapangan rumputnya yang cukup luas menjadi habitat ratusan burung dara. Penjaja jagung kering dan tukang foto banyak berkeliaran di antara pasukan burung yang tak sedikitpun terganggu dengan aktivitas manusia.

Di seberang taman istana, kita bisa duduk santai di sepanjang pinggiran Sungai Mekong yang meliuk melintasi 6 negara. Kuil-kuil kecil (mungkin setara dengan musholla) berjajar di beberapa titik.

Saat saya menghabiskan waktu di pinggir sungai ini, banyak pemeluk Buddha yang singgah dan melakukan ritual agamanya. Beberapa di antaranya mencuci muka dengan air rendaman bunga lotus dan melemparkan lotus-lotus ke dalam sungai.

Di samping sungai, para burung dara masih bertebaran. dokpri
Di samping sungai, para burung dara masih bertebaran. dokpri
Awas diteleki ya Mas!. dokpri
Awas diteleki ya Mas!. dokpri
Mari-mari... lumpianya mari dicicipi... dokpri
Mari-mari... lumpianya mari dicicipi... dokpri
Tak lama kemudian, hujan lebat singgah sebentar membasahi daratan. Saya terpesona dengan tarian ratusan burung dara yang berputar anggun melindungi diri dari kucuran air langit. Hampir semua orang berkumpul di bawah naungan atap pendopo yang terletak di pinggir sungai di antara kuil-kuil kecil tadi.

Sembari menunggu hujan reda, saya mencicipi camilan lokal yang dijajakan di sana. Mirip lumpia dan bakwan, tapi cita rasanya tidak sekuat lumpia di Indonesia.

Di sana saya juga berkenalan dengan 3 pelancong asal Indonesia. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang, bro! Tonggo dewe. Pada kisahnya nanti, meski sudah pindah ke kota lain sejauh lebih dari 300 km dari Phnom Penh, saya masih ditakdirkan untuk bertemu dengan adik-adik ini...

Tak lama hujan pun reda. Saya lanjut menelusuri pinggiran Sungai Mekong. Sesekali gerimis datang membuat saya panik. Dua hari ini saya tidak menginap di hotel.

Jadi saya sangat menghindari fenomena baju basah. Cukup jauh kami berjalan dan tak menemukan tembusan menuju jalan raya. Namun pada akhirnya, kami menemukan sesuatu yang cukup menarik. Nikmati kelanjutan perjalanan ini di cerita selanjutnya, Mutar-mutar Seharian di Phnom Penh, Part 2...

Berjalan santai di bawah mendung. dokpri
Berjalan santai di bawah mendung. dokpri
dokpri
dokpri
Ada yang galau nih... dokpri
Ada yang galau nih... dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun