Mohon tunggu...
Ali Asgar Tuhulele
Ali Asgar Tuhulele Mohon Tunggu... Pengacara - Nyong ka

Nothing Outside the Text

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konsensus Wasington Solusi untuk Pemerintahan RI 2014-2019

29 September 2021   22:38 Diperbarui: 29 September 2021   22:47 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adapun di Indonesia di kenal dengan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), menurut Ridwan HR AUPB tidak hanya dapat dilihat dari segi kebahasaan saja namun juga dari segi sejarahnya sehingga dapat dipahami sebagai asas umum dalam tata cara penyelengaraan pemerintahan yang layak dan tidak sewenang-wenang. Hal mana tercantum di dalam UU No.5  Th 1986 Tentang PTUN,  JO. UU. No.28 Th 1999 tentang Pemerintahan yang bersih bebas KKN. JO. UU.  No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintrahan, JO. UU. 

Etika Penyelenggara Negara, JO. UU. No. 12 Th 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam bukunya berjudul "Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara" mengetengahkan 13 asas yang salah satunya adalah asas bertindak cermat dimana asas ini menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktifitas penyelengaraan tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga dan Negara, kemudian asas lainnya yang digambarkan oleh beliau dalam bukunya yakni asas jangan mencampur adukan wewenang di mana asas ini menghendaki agar aparatur pemerintahan/pejabat tata usaha Negara tidak menggunakan wewenang untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku.

Pemerintahan JOKOWI di dalam menjalankan kedisiplinan anggaran harus berlandaskan hukum sebagaimana Undang-Undang anggaran pendapatan belanja Negara, contoh nyata sebelum APBN 2015 pemerintahan JOKOWI telah menerbitkan KIS, KIP, dan KKS dengan pembiayaan yang disinyalir menggunakan dana Corporate Social Responsibility (CSR), hal ini menjadi dakwaan awal publik bagi pemerintahan atas pembagian 3 kartu tersebut; bahwa pemerintahan Jokowi terlalu terburu-buru dalam menetapkan kebijakan pengganggaran terhadap program pemerintahannya, yang mengakibatkan daya kejut sebagai antiklimaks dari gerakan para ekonom yang kurang mumpuni membuat kebijakan-kebijakan ekonomi di zaman penguatan nilai ekonomi Liberalisme yang mendera negara-negara Asia pada umumnya. 

Berbeda dengan disiplinnya pemerintahan SBY dalam penganggaran, di mana menteri Keuangan di Era SBY berhasil melakukan pengetatan Fiskal secara ekstra dengan menekan belanja pemerintah serta mendorong penerimaan, sementara di era Jokowi, menteri keuangannya tidak mempunyai tindakan ekonomi extra effort yang menghasilkan blundernya tindakan para ekonom di era jokowi bak simalakama (Upaya atau tidak sama saja)  yang mengahasilkan krisis ekonomi di ambang pintu. 

Kritikan politik Jokowi ke IMF maupun Bank Dunia, juga menjadi bahan dagelan bagi para menteri ekonominya yang ikut-ikutan menggonggong dengan pengulangan arti kalimat yang sama dilakukan jokowi yakni cari musuh dengan Bank Dunia.

Mestinya tindakan sistemik dari Negara berkembang adalah pola kondisional dengan membebankan aspek keunggulan ekonomi Indonesia untuk disupport dengan kebijakan ekonomi yang mendukung. Karena ini zaman globalisasi Martin Albrow mengisyaratkan bahwa Globalisasi merupakan semua proses yang ingin menyatukan penduduk dunia menjadi satu masyarakat dunia yang tunggal, tapi Theodore Levitt sang penemu istilah globalisasi menandainya dengan mencerminkan proses integrasi Internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, Produk Pemikiran dan aspek kebudayaan lainnya. Sementara menurut penulis, Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan international di mana masing-masing Negara tetap mempertahankan identitas masing-masing namun semakin tergantung satu sama lain. 

Sehingga Negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa melawan arus dengan menentang perwakilan Globalisasi tersebut (IMF, Bank Dunia Dll.), upaya perlawanan Jokowi di sambutan pidato internasionalnya telah melibatkan kemajemukan SDA Indonesia di ambang kehancuran, karena mayoritas SDA Indonesia ada dalam genggaman investor asing, atau donasi asing (Era para pemimpin Asia yang cenderung filsuf dan Politis sudah usai) contohnya generasi keempat di China hari ini lebih teknokrat dibanding politis serta filosofis. 

Penting untuk diketahui, setelah perang dunia kedua para pemimpin politik Negara-negara di dunia telah membuat Konferensi Bretton Woods dengan tujuan antara lain: (1). Menyusun kebijakan moneter internasional, (2). Perdagangan dan Keuangan, (3). Pembentukan sejumlah lembaga International yang bertujuan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, (4). Pembebasan perdagangan secara bertahap, (5). Penyederhanaan dan pengurangan batasan perdagangan. Awalnya terbentuklah General Agreement On Tariffs And Trade (GATT) kemudian berubah menjadi WTO (Organisasi perdagangan dunia).  Dan pada tahun 2000, IMF mengidentifikasi 4 aspek dasar Globalisasi yakni: 

(1). Perdagangan dan transaksi, (2). Pergerakan Modal dan Investasi, (3). Migrasi dan perpindahan manusia, (4). Pembebasan ilmu pengetahuan. Logikanya bagaimana mungkin mau membangun infrastruktur tanpa terlebih dahulu memiliki surplus perdagangan  (Ekspor lebih tinggi dibanding impor) dan transaksi. Dengan visi kemaritiman pemerintahan Jokowi dan para pemikir ekonom nya adalah mindland (Orang daratan), serta cenderung mencla-mencle karena gugup atau masih baru merasakan atmosfir pengelolaan Negara besar seperti Indonesia ini di tambah lagi tidak adanya kedisiplinan pengelolaan anggaran (yang ada hanya disiplin memakai kemeja putih panjang dengan gulungan modifikasi seperti orang yang hendak masuk toilet). 

Terjadinya kegagalan ekonomi Indonesia di ambang pintu ini, mencerminkan focus ekspor Indonesia yang asal jadi (Ekspor komoditas seperti makanan dan bahan tekstile serta mineral mentah padahal di satu sisi telah ada UU Hilirisasi). Pemerintahan Jokowi tidak bercermin dari usaha (CT) sebagai Menko Ekonomi di era  SBY untuk membredel Perusahan raksasa yang sedang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. 

Alih-alih membredel perusahan asing tersebut, rezim saat ini malah memainkan isu Korupsi, debat pakar sewaan, kegaduhan antar/sesama kader partai/perebutan ketua partai dan pertentangan antara lembaga penegak hukum sebagai tameng persembunyian misi transaksional dengan perusahan-perusahan asing raksasa, akibatnya di era Jokowi hampir saja Freeport kembali memiliki akses mengelola tanpa syarat atas lahan di Tembagapura. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun