KEKUASAAN KATA [6]: Diary, Tempat Bersandar Saat Dunia Tak Mau Mendengar
Namanya Viviane. Umur 24 tahun. Bekerja di kantor pemasaran yang serba cepat, serba keras, serba "deadline dulu, perasaan belakangan". Di luar, ia tampak tegar, selalu tersenyum saat rapat, cepat membalas email, tak pernah protes meski lembur sampai jam 9 malam. Tapi di dalam? Di dalam, ia sering menangis diam-diam di toilet lantai 3.
Viviane tak punya tempat curhat. Teman dekatnya sudah sibuk dengan pacar dan karier. Ibunya di kampung tak paham istilah "burnout" atau "anxiety". Ayahnya? Sudah tiada sejak ia SMA dan sampai sekarang, ia belum sempat bilang, "Aku rindu kamu, Yah."
Lalu, suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota dan ia duduk sendirian di kostnya yang sempit, Viviane menemukan sebuah buku diary lama, hadiah ulang tahun dari almarhum ayahnya, yang belum pernah ia buka.
Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman pertama. Kosong. Putih. Seperti hatinya yang sering terasa hampa.
Ia ambil pulpen. Dan menulis tanpa dipikir, tanpa diedit, tanpa takut salah:
"Aku lelah, Yah. Aku capek pura-pura kuat. Aku rindu kamu. Aku rindu dipeluk tanpa harus bilang 'aku butuh pelukan'. Aku rindu didengar tanpa harus berteriak. Kenapa kamu pergi dulu? Aku belum selesai belajar jadi anakmu..."
Air matanya jatuh, mengotori tinta. Tapi anehnya, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasa lega. Seperti ada beban yang diturunkan dari pundaknya. Seperti ada ruang di dadanya yang akhirnya bisa bernapas.
Sejak malam itu, Viviane tak pernah berhenti menulis di diary-nya.
Menulis Bukan untuk Dibaca Orang Lain, Tapi untuk Dirinya Sendiri yang Terluka
Diary Viviane bukan catatan harian biasa. Ia tak menulis "hari ini hujan", atau "rapat jam 10 pagi". Ia menulis:
"Aku marah sama bos, tapi aku senyum. Kenapa aku takut bilang tidak? Apa aku takut dianggap lemah? Atau... aku memang sudah lupa caranya jujur?"
"Aku rindu punya teman yang nggak nanya 'udah punya pacar belum?', tapi nanya 'kamu bahagia nggak hari ini?'"
"Aku ingin menjerit. Tapi aku takut tetangga dengar. Jadi aku tulis saja di sini. Biar kertas yang menanggung teriakanku."
Diary menjadi tempat pelarian yang aman. Tempat di mana ia bisa marah tanpa dihakimi. Sedih tanpa dikasihani. Rindu tanpa harus dituntaskan. Di sini, tak ada yang menuntutnya jadi "versi terbaik dirinya". Ia hanya perlu jadi dirinya yang asli, yang lelah, yang rapuh, yang manusiawi.
Dan lambat laun, sesuatu berubah.
Emosi Negatif yang Ditulis, Menjadi Emosi yang Dipahami, Lalu Disembuhkan
Psikolog bilang, menulis diary adalah bentuk emotional catharsis, pelepasan emosi yang terpendam. Tapi bagi Viviane, ini lebih dari sekadar pelepasan. Ini adalah proses bertemu diri sendiri.
Saat ia menulis tentang rasa takutnya dipecat, ia sadar: "Ternyata aku takut bukan karena kehilangan pekerjaan, tapi karena kehilangan identitas. Aku merasa 'aku' hanya diukur dari produktivitas."
Saat ia menulis tentang kerinduannya pada ayah, ia sadar: "Aku belum berdamai dengan kepergiannya. Aku masih menyalahkan diri sendiri karena tak sempat bilang 'aku sayang kamu'."
Dan saat ia menulis tentang kesepiannya, ia sadar: "Aku bukan tak punya teman. Aku hanya tak berani membuka diri. Aku takut disakiti lagi."
Dengan menulis, emosi negatif tak lagi jadi monster yang menghantui. Ia jadi tamu yang bisa diajak bicara, diajak duduk, diajak minum teh, lalu (perlahan) dipersilakan pergi.
Kerinduan yang Tak Kesampaian, Menjadi Doa yang Terkirim Lewat Tinta
Ada satu hal yang paling sering Viviane tulis: surat-surat untuk ayahnya.
"Yah, hari ini aku berhasil presentasi tanpa gemetar. Kamu pasti bangga, ya? Aku pakai dasi biru yang dulu kamu suka."
"Aku masak sop ayam hari ini. Rasanya nggak seenak masakan ayah. Tapi aku coba, Yah. Aku belajar."
"Aku ketemu cowok yang mirip kamu suka ketawa keras dan ngomong blak-blakan. Aku suka dia. Aku rasa... kamu juga akan suka."
Viviane tahu ayahnya tak akan membaca surat-surat itu. Tapi ia tetap menulis. Karena menulis adalah cara paling jujur untuk mengatakan: "Aku masih mencintaimu. Aku masih mengingatmu. Dan aku masih butuh kamu meski hanya dalam ingatan."
Dan anehnya, semakin banyak ia menulis surat untuk ayahnya, semakin ringan rasa rindunya. Bukan karena ia lupa. Tapi karena ia merasa (lewat tulisan) ayahnya masih hadir. Masih mendengar. Masih memeluknya dari jauh.
Dari Pelampiasan Jadi Penyembuhan. Dari Penyembuhan Jadi Kekuatan.
Setahun berlalu. Viviane masih bekerja di kantor yang sama. Masih ada deadline. Masih ada bos yang keras. Tapi sesuatu berubah, ia tak lagi membawa semua beban itu pulang.
Ia punya tempat meletakkannya: diary-nya.
Dan dari situ, ia belajar hal penting: menulis bukan pelarian tapi persiapan. Persiapan untuk bangkit lagi. Untuk tersenyum lagi. Untuk mencoba lagi.
Suatu hari, ia berani bilang "tidak" saat diminta lembur di hari ulang tahunnya.
Ia mulai ikut komunitas menulis dan berani baca puisinya di depan orang.
Ia bahkan mulai menulis blog kecil tentang perjalanan batinnya melalui diary yang diam-diam dibaca ratusan orang muda yang merasa: "Wah, aku nggak sendiri."
Penutup: Kekuasaan Kata yang Paling Pribadi Justru yang Paling Menyembuhkan
Viviane tak pernah bermimpi jadi penulis terkenal. Ia hanya ingin selamat dari dirinya sendiri yang hampir menyerah.
Dan ia selamat bukan karena motivasi dari luar, tapi karena kata-kata dari dalam. Kata-kata yang ditulisnya sendiri, di malam-malam sepi, dengan tangan gemetar dan hati yang jujur.
Diary-nya kini sudah penuh. Tapi ia tak berhenti. Ia beli buku baru. Dan di halaman pertama, ia tulis:
"Untuk diriku yang dulu: terima kasih sudah bertahan.
Untuk diriku sekarang: teruslah menulis meski hanya untuk dirimu sendiri.
Untuk diriku nanti: aku janji, aku tak akan pernah berhenti mendengarmu."
Karena kekuasaan kata yang sesungguhnya bukan di panggung, bukan di media, bukan di bestseller,
tapi di kamar kecil yang sunyi, di meja sederhana, di tangan yang gemetar,
yang berani menulis:
"Aku lelah."
"Aku rindu."
"Aku butuh."
"Aku masih di sini."
Dan itu cukup untuk membuat seseorang bertahan.
Cukup untuk membuat seseorang sembuh.
Cukup untuk membuat seseorang tetap manusia.
Inspirasi dari jutaan jiwa yang menulis diary bukan untuk dibaca dunia
tapi untuk diselamatkan oleh dirinya sendiri.
Karena kadang, satu-satunya yang mau mendengarkan kita...
adalah tinta, kertas, dan keberanian untuk jujur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI