Ada satu hal yang paling sering Viviane tulis: surat-surat untuk ayahnya.
"Yah, hari ini aku berhasil presentasi tanpa gemetar. Kamu pasti bangga, ya? Aku pakai dasi biru yang dulu kamu suka."
"Aku masak sop ayam hari ini. Rasanya nggak seenak masakan ayah. Tapi aku coba, Yah. Aku belajar."
"Aku ketemu cowok yang mirip kamu suka ketawa keras dan ngomong blak-blakan. Aku suka dia. Aku rasa... kamu juga akan suka."
Viviane tahu ayahnya tak akan membaca surat-surat itu. Tapi ia tetap menulis. Karena menulis adalah cara paling jujur untuk mengatakan: "Aku masih mencintaimu. Aku masih mengingatmu. Dan aku masih butuh kamu meski hanya dalam ingatan."
Dan anehnya, semakin banyak ia menulis surat untuk ayahnya, semakin ringan rasa rindunya. Bukan karena ia lupa. Tapi karena ia merasa (lewat tulisan) ayahnya masih hadir. Masih mendengar. Masih memeluknya dari jauh.
Dari Pelampiasan Jadi Penyembuhan. Dari Penyembuhan Jadi Kekuatan.
Setahun berlalu. Viviane masih bekerja di kantor yang sama. Masih ada deadline. Masih ada bos yang keras. Tapi sesuatu berubah, ia tak lagi membawa semua beban itu pulang.
Ia punya tempat meletakkannya: diary-nya.
Dan dari situ, ia belajar hal penting: menulis bukan pelarian tapi persiapan. Persiapan untuk bangkit lagi. Untuk tersenyum lagi. Untuk mencoba lagi.
Suatu hari, ia berani bilang "tidak" saat diminta lembur di hari ulang tahunnya.
Ia mulai ikut komunitas menulis dan berani baca puisinya di depan orang.
Ia bahkan mulai menulis blog kecil tentang perjalanan batinnya melalui diary yang diam-diam dibaca ratusan orang muda yang merasa: "Wah, aku nggak sendiri."