Diary Viviane bukan catatan harian biasa. Ia tak menulis "hari ini hujan", atau "rapat jam 10 pagi". Ia menulis:
"Aku marah sama bos, tapi aku senyum. Kenapa aku takut bilang tidak? Apa aku takut dianggap lemah? Atau... aku memang sudah lupa caranya jujur?"
"Aku rindu punya teman yang nggak nanya 'udah punya pacar belum?', tapi nanya 'kamu bahagia nggak hari ini?'"
"Aku ingin menjerit. Tapi aku takut tetangga dengar. Jadi aku tulis saja di sini. Biar kertas yang menanggung teriakanku."
Diary menjadi tempat pelarian yang aman. Tempat di mana ia bisa marah tanpa dihakimi. Sedih tanpa dikasihani. Rindu tanpa harus dituntaskan. Di sini, tak ada yang menuntutnya jadi "versi terbaik dirinya". Ia hanya perlu jadi dirinya yang asli, yang lelah, yang rapuh, yang manusiawi.
Dan lambat laun, sesuatu berubah.
Emosi Negatif yang Ditulis, Menjadi Emosi yang Dipahami, Lalu Disembuhkan
Psikolog bilang, menulis diary adalah bentuk emotional catharsis, pelepasan emosi yang terpendam. Tapi bagi Viviane, ini lebih dari sekadar pelepasan. Ini adalah proses bertemu diri sendiri.
Saat ia menulis tentang rasa takutnya dipecat, ia sadar: "Ternyata aku takut bukan karena kehilangan pekerjaan, tapi karena kehilangan identitas. Aku merasa 'aku' hanya diukur dari produktivitas."
Saat ia menulis tentang kerinduannya pada ayah, ia sadar: "Aku belum berdamai dengan kepergiannya. Aku masih menyalahkan diri sendiri karena tak sempat bilang 'aku sayang kamu'."
Dan saat ia menulis tentang kesepiannya, ia sadar: "Aku bukan tak punya teman. Aku hanya tak berani membuka diri. Aku takut disakiti lagi."
Dengan menulis, emosi negatif tak lagi jadi monster yang menghantui. Ia jadi tamu yang bisa diajak bicara, diajak duduk, diajak minum teh, lalu (perlahan) dipersilakan pergi.