Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gugatan Cara Berpikir: Mengapa Masih Ada Ujian Kalau Semua Anak Harus Naik dan Lulus?

18 September 2025   19:06 Diperbarui: 18 September 2025   21:19 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Gugatan Cara Berpikir: Mengapa Masih Ada Ujian Kalau Semua Anak Harus Naik Dan Lulus?

Seorang siswa yang setiap pagi bangun sebelum matahari terbit, berjalan kaki puluhan kilometer demi sampai ke sekolah tepat waktu. Ia mencatat setiap kata guru, menyelesaikan semua tugas, bahkan rela begadang demi memahami materi yang sulit. Ia berjuang bukan hanya untuk nilai, tapi untuk kebanggaan, untuk masa depan, untuk membuktikan bahwa usaha tak pernah mengkhianati hasil.

Di sisi lain, ada siswa yang jarang masuk kelas, tugas dikumpulkan asal-asalan, atau bahkan tak pernah dikumpulkan sama sekali, nilai ujian di bawah KKM, dan mungkin lebih sering absen daripada hadir. Tapi di akhir tahun, keduanya naik kelas bersama. Lulus bersama. Diberi ijazah yang sama.

Lalu kita bertanya: di manakah keadilan?

[Hari-hari ini saya harus menyiapkan soal sumatif dan Penilaian Tengah Semester/PTS. Ada 8 jenis soal yang harus saya siapkan. 2 untuk SMP dan 6 untuk SMK dan SMA. Di antara delapan kelas ini ada siswa yang tekun dan setia mengikuti semua proses pembelajaran. Namun ada yang sama sekali belum pernah jumpa selama hampir dua bulan berjalan. Namun saat ujian, siswa-siswa seperti tetap mengikutinya. Tentu hasilnya bisa ditebak.]

Ini bukan soal iri atau dengki. Ini soal logika, etika, dan keadilan pendidikan. Jika sistemnya memaksa semua anak naik kelas dan lulus tanpa syarat ketat, lalu untuk apa ujian? Untuk apa PTS, PAS, ujian sumatif, atau bahkan Ujian Sekolah? Apakah sekadar ritual birokrasi? Formalitas yang dipertahankan agar sekolah tetap terlihat "serius"? Ataukah justru alat untuk menutupi kegagalan sistem dalam menangani ketimpangan belajar?

Kita diajarkan sejak kecil: usaha keras akan membuahkan hasil. Tapi kini, sistem pendidikan seolah berkata: "Tak masalah kau malas, tak masalah kau bolos, tak masalah kau tak belajar, kau tetap akan naik. Kau tetap akan lulus." Lalu apa pesan yang diterima generasi muda? Bahwa usaha tak lagi relevan? Bahwa tanggung jawab bisa diabaikan? Bahwa kehadiran, disiplin, dan ketekunan hanyalah pilihan, bukan keharusan?

Dan di tengah semua ini, guru menjadi sandera. Guru mapel yang ingin objektif dinilai "kejam". Guru wali kelas yang ingin tegas dituduh "tidak manusiawi". Orang tua murid yang anaknya rajin protes: "Kenapa anak saya yang berjuang mati-matian nilainya sama dengan yang jarang masuk?" Tapi begitu guru memberi konsekuensi, orang tua lain protes: "Anak saya stres! Anak saya trauma! Anak saya harus naik, titik!" Tekanan sosial, tekanan psikologis, tekanan administratif, semua ditimpakan pada guru. Seolah guru-lah yang salah karena berani menilai secara adil.

Tapi tunggu.

Mungkin masalahnya bukan pada prinsip "semua anak naik", tapi pada cara kita memahami "kenaikan" itu sendiri. Kurikulum Merdeka tidak mengatakan "semua anak naik tanpa syarat". Ia mengatakan: semua anak berhak mendapat kesempatan untuk maju, tanpa dihukum dengan tinggal kelas yang justru sering memperdalam ketertinggalan. Ini bukan pembenaran untuk kemalasan, tapi pengakuan bahwa sistem pendidikan harus berubah dari menghukum menjadi memperbaiki.

Lalu, bagaimana caranya?

Pertama, ubah makna ujian. Ujian bukan alat untuk menyaring siapa yang layak naik dan siapa yang tidak. Ujian adalah cermin: untuk guru, agar tahu di mana siswa lemah; untuk siswa, agar sadar di mana ia harus berbenah; untuk orang tua, agar paham di mana perlu mendampingi. Jika seorang siswa bolos terus dan nilainya rendah, ujian justru harus menjadi alarm: "Ada yang salah di sini. Kita harus intervensi."

Kedua, ganti logika promosi dengan logika pendampingan intensif. Jika siswa tidak memenuhi standar, ia tetap naik kelas, tapi dengan program remedial khusus, pendampingan ekstra, bahkan "kelas paralel" yang menyesuaikan kecepatan belajarnya. Ia tidak dibiarkan lolos begitu saja, tapi juga tidak dihukum dengan stigma tinggal kelas. Ia diberi jalan lain, tapi jalan itu menuntut tanggung jawab: dari sekolah, dari guru, dari orang tua, dan terutama dari dirinya sendiri.

Ketiga, beri penghargaan yang proporsional. Anak yang rajin, berprestasi, dan konsisten harus diakui secara eksplisit, bukan hanya dengan nilai, tapi dengan penghargaan karakter, sertifikat keunggulan, atau kesempatan khusus. Biarkan mereka tahu: usahamu terlihat. Perjuanganmu dihargai. Kau tidak disamakan dengan yang malas, kau ditempatkan di atas podium karena kau pantas di sana.

Keempat, libatkan orang tua secara tegas dan transparan. Jangan biarkan orang tua hanya datang saat protes nilai. Libatkan mereka sejak awal: "Jika anak Anda sering absen dan tidak mengerjakan tugas, inilah konsekuensi akademiknya, bukan tinggal kelas, tapi program pemulihan yang menuntut komitmen Anda juga." Jika orang tua menolak, maka catat itu sebagai catatan resmi. Pendidikan bukan tanggung jawab guru semata.

Terakhir, berani jujur pada data. Jika seorang siswa lulus dengan nilai di bawah standar, ijazahnya boleh sama, tapi rapornya harus jujur. Di situ tertulis: "Siswa ini lulus dengan pendampingan khusus karena belum mencapai standar kompetensi penuh." Bukan untuk mempermalukan, tapi untuk memberi peta jalan bagi jenjang berikutnya. Agar SMA atau perguruan tinggi tahu: siswa ini butuh perhatian ekstra. Bukan untuk diskriminasi, tapi untuk keadilan proses.

Jadi, ujian tetap diperlukan, bukan sebagai palu hakim, tapi sebagai kompas. Bukan untuk menghukum, tapi untuk menuntun. Bukan untuk memisahkan yang "pintar" dan "bodoh", tapi untuk memetakan siapa yang butuh bantuan, dan seberapa besar bantuan itu.

Keadilan bukan berarti semua orang dapat hasil yang sama. Keadilan berarti semua orang diberi kesempatan yang sama untuk berkembang, sesuai dengan usaha dan kondisinya. Anak yang berjuang berdarah-darah harus dihargai lebih tinggi, bukan disamakan dengan yang berpangku tangan. Dan anak yang tertinggal bukan dibiarkan terpuruk, tapi diangkat dengan cara yang benar tanpa mengorbankan keadilan bagi yang lain.

Guru bukan mesin stempel kelulusan. Guru adalah penjaga standar, sekaligus pendamping perjalanan. Jangan paksa guru memilih antara tekanan orang tua dan integritas akademik. Beri mereka ruang, dukungan, dan kepercayaan untuk menilai dengan jujur dan bertindak dengan bijak.

Karena pendidikan yang adil bukan yang memaksa semua orang sampai di garis finish bersamaan. Tapi yang memastikan setiap orang berlari di lintasan yang sesuai, dengan sepatu yang pas, dan semangat yang tak pernah padam meski kecepatannya berbeda.

Dan di garis finish itu, ijazah bukan simbol "kau sudah selesai", tapi sertifikat "kau sudah berjuang dan kami akan terus mendampingimu ke depan."

Itulah keadilan sejati. Bukan menyamaratakan, tapi memuliakan perjuangan dalam bentuk yang berbeda-beda, namun sama-sama bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun