Lalu, bagaimana caranya?
Pertama, ubah makna ujian. Ujian bukan alat untuk menyaring siapa yang layak naik dan siapa yang tidak. Ujian adalah cermin: untuk guru, agar tahu di mana siswa lemah; untuk siswa, agar sadar di mana ia harus berbenah; untuk orang tua, agar paham di mana perlu mendampingi. Jika seorang siswa bolos terus dan nilainya rendah, ujian justru harus menjadi alarm: "Ada yang salah di sini. Kita harus intervensi."
Kedua, ganti logika promosi dengan logika pendampingan intensif. Jika siswa tidak memenuhi standar, ia tetap naik kelas, tapi dengan program remedial khusus, pendampingan ekstra, bahkan "kelas paralel" yang menyesuaikan kecepatan belajarnya. Ia tidak dibiarkan lolos begitu saja, tapi juga tidak dihukum dengan stigma tinggal kelas. Ia diberi jalan lain, tapi jalan itu menuntut tanggung jawab: dari sekolah, dari guru, dari orang tua, dan terutama dari dirinya sendiri.
Ketiga, beri penghargaan yang proporsional. Anak yang rajin, berprestasi, dan konsisten harus diakui secara eksplisit, bukan hanya dengan nilai, tapi dengan penghargaan karakter, sertifikat keunggulan, atau kesempatan khusus. Biarkan mereka tahu: usahamu terlihat. Perjuanganmu dihargai. Kau tidak disamakan dengan yang malas, kau ditempatkan di atas podium karena kau pantas di sana.
Keempat, libatkan orang tua secara tegas dan transparan. Jangan biarkan orang tua hanya datang saat protes nilai. Libatkan mereka sejak awal: "Jika anak Anda sering absen dan tidak mengerjakan tugas, inilah konsekuensi akademiknya, bukan tinggal kelas, tapi program pemulihan yang menuntut komitmen Anda juga." Jika orang tua menolak, maka catat itu sebagai catatan resmi. Pendidikan bukan tanggung jawab guru semata.
Terakhir, berani jujur pada data. Jika seorang siswa lulus dengan nilai di bawah standar, ijazahnya boleh sama, tapi rapornya harus jujur. Di situ tertulis: "Siswa ini lulus dengan pendampingan khusus karena belum mencapai standar kompetensi penuh." Bukan untuk mempermalukan, tapi untuk memberi peta jalan bagi jenjang berikutnya. Agar SMA atau perguruan tinggi tahu: siswa ini butuh perhatian ekstra. Bukan untuk diskriminasi, tapi untuk keadilan proses.
Jadi, ujian tetap diperlukan, bukan sebagai palu hakim, tapi sebagai kompas. Bukan untuk menghukum, tapi untuk menuntun. Bukan untuk memisahkan yang "pintar" dan "bodoh", tapi untuk memetakan siapa yang butuh bantuan, dan seberapa besar bantuan itu.
Keadilan bukan berarti semua orang dapat hasil yang sama. Keadilan berarti semua orang diberi kesempatan yang sama untuk berkembang, sesuai dengan usaha dan kondisinya. Anak yang berjuang berdarah-darah harus dihargai lebih tinggi, bukan disamakan dengan yang berpangku tangan. Dan anak yang tertinggal bukan dibiarkan terpuruk, tapi diangkat dengan cara yang benar tanpa mengorbankan keadilan bagi yang lain.
Guru bukan mesin stempel kelulusan. Guru adalah penjaga standar, sekaligus pendamping perjalanan. Jangan paksa guru memilih antara tekanan orang tua dan integritas akademik. Beri mereka ruang, dukungan, dan kepercayaan untuk menilai dengan jujur dan bertindak dengan bijak.
Karena pendidikan yang adil bukan yang memaksa semua orang sampai di garis finish bersamaan. Tapi yang memastikan setiap orang berlari di lintasan yang sesuai, dengan sepatu yang pas, dan semangat yang tak pernah padam meski kecepatannya berbeda.
Dan di garis finish itu, ijazah bukan simbol "kau sudah selesai", tapi sertifikat "kau sudah berjuang dan kami akan terus mendampingimu ke depan."