"Nak, kekayaan sejati bukan di rekening, tapi di hati orang-orang yang kau sentuh. Aku menulis bukan supaya namaku abadi, tapi supaya kasih yang kuterima (dari murid, dari hidup, dari Tuhan) bisa kubagikan, lalu kau wariskan lagi. Itu abadi. Lebih abadi dari batu nisan."
Buku kecil Pak Yosef kini jadi bahan modul pelatihan guru di beberapa kabupaten. Namanya tak pernah dicetak besar. Tapi setiap guru yang membacanya, merasa: "Oh, jadi aku tidak sendiri."
Dan itulah kekuasaan kata yang sesungguhnya.
Bukan untuk menguasai.
Bukan untuk terkenal.
Tapi untuk menjadi jembatan dari hati ke hati, dari generasi ke generasi.
Karena kisah yang ditulis dengan kasih, akan jadi petuah.
Petuah yang dirawat dengan tulus, akan jadi warisan.
Dan warisan yang hidup dalam jiwa, tak akan pernah mati, meski penulisnya telah tiada.
Di sudut ruang guru, masih ada buku catatan kecil.
Kini dipegang oleh Rani.
Dan di halaman pertama, ia tulis:
"Hari ini, Dito (bukan mantan menpora ya) menangis karena takut salah baca. Aku peluk. Aku katakan: 'Tidak apa-apa. Kita belajar bersama.' Lalu ia tersenyum.
Seperti dulu Pak Yosef memelukku.
Seperti dulu kata-kata menyelamatkanku.
Sekarang, giliranku menulis agar kelak, ada yang merasa: 'Aku tidak sendiri.'"
Dan begitulah
kata-kata terus berjalan.
Dari tangan ke tangan.
Dari hati ke hati.
Abadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI