Ia tak punya uang untuk cetak. Maka, ia fotokopi sendiri, jilid dengan benang dan karton bekas. Judulnya sederhana: "Mengajar dengan Hati: Catatan Seorang Guru yang Belajar dari Muridnya."
Awalnya, hanya 10 eksemplar. Dibagikan ke guru-guru di sekolahnya. Tapi tak disangka guru-guru itu membacanya, lalu menangis. Lalu memfotokopi lagi, membagi ke sekolah tetangga. Lalu kepala sekolah dari kecamatan sebelah datang, meminta izin mencetak ulang.
Dalam setahun, buku kecil itu tersebar ke 37 sekolah. Tanpa ISBN. Tanpa royalti. Tanpa nama besar di sampul. Hanya tulisan kecil di pojok: "Ditulis oleh Yosef guru biasa yang percaya: anak-anak adalah guru terbaik."
Lima tahun kemudian...
Rani, murid yang dulu suka membaca buku catatan Pak Yosef sekarang jadi guru honorer di sekolah dasar yang sama. Di mejanya, ada buku kecil yang ia tulis sendiri: "Belajar dari Pak Yosef: Menulis untuk Mengingat, Mengajar untuk Menyembuhkan."
Di halaman pertama, ia tulis:
"Pak Yosef mengajari saya satu hal: menulis kisah bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dipahami. Bukan untuk diingat namanya, tapi untuk diwariskan maknanya. Dari beliau, saya belajar: kasih bisa dirajut lewat kata-kata. Dan kata-kata itu (jika ditulis dengan jujur) Â bisa jadi petuah yang hidup, lama setelah penulisnya tiada."
Pak Yosef pensiun tahun lalu. Ia tak punya rumah mewah atau mobil baru. Tapi di ruang tamunya, ada rak penuh berisi buku-buku kecil kiriman dari mantan muridnya, dari guru-guru muda yang terinspirasi, bahkan dari orang tua yang menulis: "Terima kasih, Pak. Karena membaca buku Bapak, saya belajar jadi ayah yang lebih sabar."
Suatu sore, cucunya bertanya, "Kakek, kenapa Kakek senang banget nulis? Kan nggak dapat uang?"
Pak Yosef tertawa kecil. Lalu ia jawab pelan: