KEKUASAAN KATA [5]: Buku Kecil di Meja Guru
Sekolah dasar ini ada di pinggiran kota kecil. Di sana ada seorang guru bernama Pak Yosef. Ia bukan guru yang sering tampil di panggung penghargaan. Tak punya gelar magister pendidikan. Tak pernah viral. Tapi di hati murid-muridnya, ia adalah pahlawan tanpa jubah.
Setiap pagi, Pak Yosef datang lebih awal. Bukan untuk rapat, tapi untuk menulis. Di buku catatan kecil yang sudah lusuh, ia mencatat hal-hal kecil: "Ani menangis karena tak punya pensil warna. Diberi pensil cadangan dari laci. Ia tersenyum."
"Budi tak mau bicara sejak ayahnya pergi. Hari ini, ia menulis satu kalimat di buku latihan: 'Aku rindu.'"
Awalnya, catatan itu hanya untuk dirinya sendiri, semacam jurnal pengingat agar ia tak lupa: mengajar bukan soal kurikulum, tapi soal hati.
Tapi suatu hari, seorang murid kelas enam, Rani, penasaran melihat buku itu tergeletak di meja guru. Ia membaca diam-diam. Lalu menangis.
"Ini tentang kami, Pak?" tanyanya, suaranya gemetar.
Pak Yosef tersenyum. "Iya. Tentang kalian. Tentang hari-hari kita bersama."
Rani memeluk buku itu. "Boleh saya baca lagi? Saya... saya merasa dilihat."
Sejak hari itu, Pak Yosef mulai menulis lebih serius. Bukan hanya catatan, tapi refleksi. Ia menulis tentang bagaimana ia belajar sabar dari murid yang lambat membaca. Bagaimana ia belajar rendah hati dari anak yang berani bertanya, "Pak, kenapa Bapak marah tadi?" Ia menulis tentang kegagalan, tentang kelelahan, tentang harapan kecil yang tumbuh di antara derit bangku kayu yang sudah lapuk.
Lalu, ia punya ide gila: mengubah catatannya jadi buku kecil, untuk dibagikan ke guru-guru lain.