Tangisan Bumi dan Panggilan Pertobatan
Di pangkuan Bunda yang suci, rumah bersama kita,
Diukir harmoni, dari gunung, laut, hingga udara.
Ditanamkan pada jiwa, kasih bagi ciptaan-Nya,
Sebuah mahakarya yang menanti tangan-tangan penjaga.
Namun...
serakahlah hati.
Buta oleh hasrat dan kebanggaan.
Ibu Pertiwi bukan lagi ibu, tapi lahan.
Budaya pakai-buang meracuni setiap sudut,
menghancurkan jalinan suci yang menyatukan semua.
Kini, alam meraung.
Dari perutnya yang terluka, banjir mengalir,
longsor menggugurkan rumah-rumah yang tak bersalah.
Tangisan kaum lemah, ibu-ibu yang kehilangan anak,
nelayan yang kehilangan laut,
petani yang kehilangan tanah
terdengar di balik reruntuhan.
Ini bukan bencana alam.
Ini adalah penagihan.
Penagihan atas keserakahan.
Penagihan atas ketidakpedulian.
Penagihan atas dosa yang kita anggap biasa.
Ketika Alam Berbicara dalam Bahasa Puitis
Paus Fransiskus membuka ensikliknya dengan sebuah kidung:
"Terpujilah Engkau, Tuhanku."
Bukan dengan teks hukum, bukan dengan laporan ilmiah
melainkan dengan puisi.
Karena alam tidak bisa dipahami hanya dengan data.
Ia harus dirasakan.
Seperti napas ibu yang menggendong bayinya.
Seperti angin yang berbisik di antara daun-daun.
Seperti sungai yang mengalir tanpa meminta izin
hanya memberi.
Laudato Si' bukan sekadar dokumen Gereja.
Ia adalah nyanyian cinta untuk Bumi.
Dan dalam nyanyian itu, ia berkata:
"Bumi bukan milikmu. Ia saudaramu. Ibu yang cantik yang membuka diri."
Ketika kita menebang hutan, kita bukan hanya memotong pohon,
kita memutus ikatan darah.
Ketika kita membuang limbah ke laut, kita bukan hanya mencemari air,
kita meracuni rumah para ikan, yang juga adalah rumah kita.
Ketika kita membiarkan kaum miskin menjadi korban pertama bencana,
kita bukan hanya gagal menjaga lingkungan,
kita gagal menjaga manusia.