"Aku takut, Bu... Ayah bilang dia akan kembali kalau gunung tenang. Tapi sampai sekarang, gunung masih marah."
Bu Sari menarik napas. Ia duduk di lantai, meraih tangan Dika. "Ayahmu tidak kembali karena gunung marah. Dia kembali ke debu, seperti kata Mbah Sastro. Tapi debu itu kini menjadi pupuk untuk padi di sawah kita. Setiap butir padi adalah pelukan darinya."
"Terus... bagaimana caranya aku tidak takut?"
"Dengan bicara pada gunung. Seperti ini." Bu Sari mengajak Dika ke halaman, lalu menyanyikan guyub (lagu tradisional yang ia pelajari dari Mbah Sastro) sambil menari kecil.
"Gunungku, jangan marah...
Anak-anakmu butuh belajar...
Debumu akan menyuburkan
Benih yang kami tanam..."
Dika tersenyum untuk pertama kalinya.
Kamis, 28 November 2025. Pukul 09.00 WIB.
"Apa ini?" Pak Hartono berdiri kaku di depan kelas. Di papan tulis, tertulis: "Pendekatan Membumi: Mindful (Sadar), Meaningful (Bermakna), Joyful (Bahagia)". Di sudut kelas, tergantung peta evakuasi kertas warna-warni dan puisi hasil karya Dika: "Aku Bukan Takut Gunung, Tapi Rindu Ayah".
"Ini metode baru saya, Pak," Bu Sari berdiri tegak. "Anak-anak sekarang bisa menjumlahkan 5 + 3 sambil menghitung butir padi. Mereka tak lagi takut gempa karena belajar mitigasi lewat lagu. Nilai ulangan matematika naik 40%, dan Dika... dia baru saja menang lomba baca puisi tingkat kabupaten."
Pak Hartono diam. Ia melihat Ibu Dika berdiri di balik pintu, mengangguk-angguk sambil memegang surat izin mengajar dari Dinas Pendidikan.
"Bapak tahu, Bu?" ujarnya pelan. "Kemarin, saya menerima telepon dari Sekolah Mangunan. Mereka ingin mempresentasikan metodemu di Jelajah Edukasi Dasar."