Tapi ketika Dika menolak keluar kelas, Bu Sari tahu ia gagal. Lagi.
Kamis, 5 September 2025. Pukul 13.00 WIB.
"Ini tidak bisa diteruskan, Bu Sari!" Kepala Sekolah, Pak Hartono, menghentakkan tangan ke meja. Di depannya, laporan ujian terakhir kelas 4: 70% nilai di bawah KKM. "Bapak sudah menerima komplain orang tua. Mereka ingin anaknya bisa masuk SMP negeri, bukan jadi petani!"
Bu Sari menunduk. Kemarin, Ibu Dika datang marah-marah: "Anak saya malah pulang bawa daun pisang, katanya tugas sekolah! Mana soal-soalnya?!"
"Tapi, Pak... anak-anak butuh cara belajar yang..."
"Cara? Yang bapak tahu, cara itu adalah latihan soal! Bapak tidak mau dengar lagi tentang 'kebun' atau 'daun pisang'!"
Di lorong sekolah, air mata Bu Sari tumpah. Ia menggigit bibir hingga berdarah. "Apa aku terlalu naif? Apa Romo Mangunwijaya salah?"
Minggu, 15 September 2025. Pukul 18.00 WIB.
Bu Sari duduk di teras rumah, membolak-balik buku catatan Mangunwijaya yang kini kusut oleh coretan kegagalan. Di halaman, ayam-ayam tetangga berlarian saat gemuruh gempa kecil mengguncang.
"Dengar, Nak," suara tetangga tua tiba-tiba memecah kesunyian. Mbah Sastro, kakek 70 tahun yang pernah selamat dari letusan Merapi 1994, duduk di kursi rotan. "Dulu, Romo Mangunwijaya pernah bilang: 'Orang Jawa tak perlu takut pada gunung. Kita lahir dari debunya, mati pun akan kembali padanya.' Tapi sekarang, anak-anak malah lari ke kota saat ada gempa."
Bu Sari terdiam. "Lalu bagaimana caranya agar mereka tidak takut?"
"Ajari mereka berbicara pada gunung, Bu. Seperti dulu leluhur kita menari tirakatan sambil menghitung butir padi."