Tiga bulan kemudian, mereka bertemu lagi. Bukan di kereta. Tapi di Blitar.
Alya diundang ke pernikahan sepupunya. Dan siapa sangka, Raka juga datang karena sepupunya teman SMA Alya. Mereka bertemu di pelaminan, saling tersenyum, seperti dua orang yang sudah lama saling mengenal.
"Kamu datang juga?"Â tanya Alya.
"Bagaimana bisa tidak?" jawab Raka. "Aku sudah janji, kan? Akan kirim buku bagus. Tapi ternyata, yang paling bagus adalah cerita kita sendiri."
Mereka mulai sering bertemu. Naik kereta bersama. Ke Yogyakarta, ke Malang, ke Surabaya. Selalu memilih gerbong ekonomi. Selalu duduk di dekat kursi prioritas. Dan selalu, selalu, Raka yang pertama kali berdiri saat melihat lansia atau ibu hamil.
"Kenapa kamu selalu melakukan itu?" tanya Alya suatu hari.
"Karena di situlah aku pertama kali melihat kamu tersenyum,"Â jawabnya. "Dan aku ingin terus melihatmu tersenyum seperti itu."
Dua tahun setelah pertemuan di kereta, di sebuah pagi yang cerah di Stasiun Blitar, mereka kembali bertemu. Tapi kali ini, bukan sebagai penumpang biasa.
Mereka berdiri di pelaminan kecil yang dibuat di halaman stasiun tempat yang mereka pilih sendiri. Di bawah tenda putih, di antara bunga-bunga kertas dan lampion, dengan rel kereta sebagai latar belakang, mereka mengucap janji.
Tamu undangan duduk di bangku-bangku kayu bekas gerbong tua. Lagu pengantin diputar dari speaker ponsel. Dan sesi selfie di depan lokomotif tua menjadi favorit semua orang.
Saat sesi tanya jawab, seorang teman bertanya, "Ceritakan bagaimana kalian bertemu?"