"Kamu juga berdiri dari tadi?" tanyanya pelan.
Alya mengangguk. "Iya. Dapat tempat duduk terakhir di luar gerbong ini."
Raka menepuk lantai di sampingnya. "Duduk saja di sini. Tidak apa-apa. Sambil menunggu, kita bisa ngobrol."
Dan mereka pun bercakap-cakap. Tentang sastra Jawa, tentang puisi Sapardi, tentang kebiasaan naik kereta, tentang rindu pada kampung halaman. Raka ternyata guru bahasa di sebuah SMP di Madiun, sedang cuti karena pamannya menikah di Purwokerto. Mereka berdua menyukai hal yang sama: buku bekas, kopi hitam tanpa gula, dan suara kereta yang berdetak seperti puisi.
"Kalau begini terus," kata Raka sambil tertawa kecil, "nanti sampai Purwokerto, kita sudah punya daftar buku yang harus dibaca bareng."
Alya tertawa. "Atau daftar lagu yang harus didengar bareng."
Saat kereta tiba di Stasiun Balapan Solo, Raka mengeluarkan ponselnya. "Boleh tukar nomor? Nanti kalau ada buku bagus, bisa saya kirim."
Alya mengangguk, hatinya berdebar. Mereka tukar nomor WhatsApp. Raka mengetik:
"Terima kasih sudah berbagi tempat duduk meski hanya di lantai. Semoga perjalananmu selalu nyaman."Â
Alya membalas:
"Terima kasih sudah mengajarkan arti duduk dan berdiri. Aku pulang dengan hati yang lebih ringan."Â