Teh Pahit, Tapi Hangat
Ia menyambutku dengan senyum yang tak sampai ke mata,
seperti pagi yang cerah tapi berangin,
aku masuk, membawa buah tangan dan harapan,
tapi hatiku tahu:
di ruang tamu ini, cinta harus diuji dulu sebelum diterima.
Setiap kata yang terucap,
terasa seperti diukur dengan timbangan tak kasat mata.
"Kerja di mana?"
"Gaji berapa?"
"Ayah ibumu siapa?"
Seolah hidupku bukan kisah,
tapi lamaran kerja yang belum lolos wawancara.
Tapi di balik dinginnya tatapan,
di balik ketusnya kalimat,
ada secangkir teh yang tetap kuhangatkan di tangan:
karena kadang,
cinta datang bukan dengan pelukan,
tapi dengan diam yang perlahan mencair.
***
Langit sore itu mendung, seperti perasaan Lely saat membuka pintu mobil. Ia menarik napas dalam-dalam, mengatur rambutnya yang tertiup angin, lalu mengangkat kotak kue dan buah yang dibawanya. Hari ini adalah kunjungan pertamanya ke rumah mertua sejak resmi menikah tiga bulan lalu. Dan sejak pertemuan pertama dulu, ia tahu: Ibu Sari (ibu mertuanya) bukan tipe yang mudah tersenyum.
"Masuk," kata Ibu Sari datar, membukakan pintu. Tidak ada pelukan. Tidak ada pujian untuk baju barunya. Hanya anggukan, lalu arahan ke ruang tamu.
Lely duduk di ujung sofa, seperti biasa tidak pernah berani duduk santai. Ibu Sari duduk di kursi kayu di seberang, tegak, seperti patung yang sedang mengawasi.
"Suamimu belum pulang?" tanya Ibu Sari, sambil menyeduh teh.
"Belum, Bu. Mas Adi masih ada rapat."