Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

[serinostalgia] Riandahy dan Rianbavy: Tangis di Atas Andringitra

4 Agustus 2025   18:26 Diperbarui: 4 Agustus 2025   18:26 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(istirahat sejenak di atas puncak Andringitra sisi Timur, dokpri)

Riandahy dan Rianbavy: Tangis di Atas Andringitra

Angin pegunungan Andringitra berbisik seperti roh yang tak pernah tidur, menerbangkan debu vulkanik dari batu-batu raksasa yang menjulang 2.600 meter ke langit. Di kaki bukit, di bawah naungan pohon tapia yang langka, seorang lelaki tua berkerudung lamba duduk di atas batu pipih, tangannya mengukir hazofotsy (kayu putih) sambil berbisik pada sekelompok pendaki muda. Namanya Rakoto, penjaga hutan sejak zaman kolonial Prancis, dan hari ini, ia akan menceritakan angano, mitos yang tak terukir di peta, tapi mengalir dalam setiap tetes air di Riandahy dan Rianbavy.

"Dengarlah," katanya, suaranya serak seperti gesekan batu. "Di puncak Andringitra ini, dulunya ada dua jiwa yang saling mencintai, tapi tak pernah disatukan."

***
Di desa Bara di kaki timur Andringitra, hiduplah Andriantsilavo, pemuda gagah yang tubuhnya diukir oleh matahari savana, dan Lalao, putri Betsileo yang suaranya lembut seperti desau daun ravina. Mereka dilahirkan di hari yang sama, dibesarkan di bawah naungan fady (tabu) yang sama: "Jangan pernah mendaki Andringitra sendirian. Gunung ini adalah tempat razana (leluhur) menyimpan vavaka (rahasia) mereka." Tapi cinta mereka melampaui fady/tabu.

(Fidelis dan Elisa duduk dekat titik jatuh Riandahy, dokpri)
(Fidelis dan Elisa duduk dekat titik jatuh Riandahy, dokpri)

Suatu pagi, saat kemarau berkepanjangan mengeringkan sumur desa, tetua memutuskan: "Kami harus memohon hujan pada Zanahary (Tuhan). Dua orang muda harus naik ke puncak Andringitra, membawa sombily (sesajen) dari beras merah dan toaka gasy (semacam arak)." Andriantsilavo dan Lalao dipilih, bukan karena keberanian, tapi karena fihavanana (persaudaraan) mereka dianggap suci.

Mereka mendaki selama tiga hari, kaki telanjang menginjak batu tajam, tangan gemetar memegang sombily. Di hari ketiga, saat matahari menyemburkan api, mereka tiba di puncak, tempat dua mata air jernih mengalir dari celah batu. Tapi di sana, mereka melihat sesuatu yang membuat napas berhenti: di bawah sinar bulan purnama, dua angano (roh leluhur) berdiri di tepi air, berbisik dalam bahasa yang tak dimengerti manusia.

"Kalian datang terlalu cepat," bisik roh itu. "Air ini adalah aina (jiwa) kami. Jika kalian minum, kalian akan mati. Jika kalian bawa pulang, desa kalian akan hancur."

Andriantsilavo, yang selama ini percaya pada kekuatan fisik, mengambil sombily dan berteriak: "Kami butuh air! Kami tak takut pada roh!" Ia mencoba mengisi kendi dengan air dari mata air pertama, yang mengalir deras seperti ombak.

Lalao berusaha menahannya. "Tunggu! Ini fady!" Tapi Andriantsilavo tak mendengar. Saat kendi menyentuh air, badai tiba-tiba mengguncang puncak. Andriantsilavo terjatuh, tubuhnya terseret arus mata air yang kini berubah menjadi air terjun ganas. Lalao berlari mengejar, tapi di mata air kedua (yang mengalir pelan seperti tangisan) ia terpeleset.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun