Suara yang Tak Pergi
Di ruang hening malam terakhir,
engkau pejamkan mata dengan tenang,
tapi pikiranmu masih berjaga,
seperti dulu, saat kau menulis di tengah ketakutan,
menentang utang, menolak dusta,
demi petani yang tak bisa tidur karena harga gabah jatuh.
Dunia tak ramai saat kau pergi,
tapi sepi itu sendiri adalah ratapan.
Kau bukan raksasa yang mengguncang istana,
hanya manusia jujur dengan pena yang tak pernah lelah,
yang percaya: ekonomi bukan angka,
tapi rasa: lapar, derita, harapan.
Kau bangun sekolah bukan untuk uang,
tapi untuk menanam rasa malu
pada setiap ekonom yang diam demi jabatan.
Kini kau tiada,
tapi di warung kopi, di kelas kuliah, di hati yang masih peduli,
namamu disebut pelan, seperti doa.
Kwik...
bukan nama, tapi pengingat:
bahwa kebenaran tak butuh sorak,
cukup satu suara yang berani,
dan kita semua diingatkan:
kita masih punya nurani.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!