Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bayangan-Bayangan di Kota Hujan

18 Juli 2025   21:30 Diperbarui: 18 Juli 2025   21:11 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Keesokan harinya, mereka pergi ke gereja, bukan untuk berkhotbah, tapi untuk berlutut di depan altar. Di hadapan umat, mereka mengakui kesalahan mereka. Mereka tak mencari simpati, hanya pengampunan dan kekuatan untuk berubah.

"Aku tak layak menjadi motivator," kata Andi. "Aku tak layak menjadi suami. Tapi aku ingin bertobat. Aku ingin belajar mencintai istriku lagi, dengan tulus."

Lisa menangis di sampingnya. "Aku juga berdosa. Aku juga bersalah. Aku ingin belajar memaafkan. Aku ingin belajar menjadi istri yang utuh lagi."

Umat terdiam. Beberapa menangis. Beberapa berdoa.

Seorang imam tua maju dan berkata, "Barangsiapa di antara kalian yang tidak berdosa, biarlah dia yang melempar batu pertama. Tapi barangsiapa yang sadar akan dosanya, mari belajar mengampuni seperti Tuhan mengampuni kita."

**

Jalan Berduri Menuju Pengampunan

Perjalanan mereka menuju rekonsiliasi bukanlah jalan yang lurus. Ada banyak malam di mana Lisa menangis sendirian di kamar. Ada hari-hari ketika Andi merasa tak punya kekuatan untuk bangkit. Mereka sering bertengkar, saling menyalahkan, bahkan sempat mempertimbangkan perceraian.

Tapi setiap kali mereka ingin menyerah, mereka mengingat janji mereka di depan altar: untuk bertobat bersama, dan untuk saling mengampuni seperti Kristus mengampuni.

Mereka memulai kembali dari nol. Belajar mendengarkan, belajar memaafkan, belajar mencintai. Mereka mengikuti konseling perkawinan, membaca kitab suci bersama, dan bahkan mengajar kelas pasutri di gereja sebagai bentuk pertobatan dan pelayanan.

Ada banyak kesalahan, banyak kekecewaan, dan banyak air mata. Tapi di tengah semua itu, tumbuh semacam kekuatan baru: kerendahan hati, kerelaan untuk diubah, dan iman yang tak lagi berdasarkan kesempurnaan, tapi pada kasih karunia.

Mereka merasa ada yang kurang dengan proses rekonsiliasi mereka. Belum sepenuh hati. Lalu mereka berdua datang ke gereja dan secara bergiliran mengaku dosa kepada imam tua itu. Lalu pertemuan mereka berlanjut di ruang tamu. Di sana mereka saling menguatkan dan mendengarkan nasihat-nasihat imam tua itu dengan rendah hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun