Bayangan-Bayangan di Kota Hujan
Di bawah langit yang murung, dua hati yang hancur mencoba bangkit dari dosa. Mereka jatuh, saling menyakiti, tapi dalam kelemahan, mereka menemukan pengampunan yang tak pernah mereka duga.
Di tengah hiruk-pikuk kota Bandung yang diguyur hujan setiap sore, hiduplah pasangan muda bernama Margonda "Lisa" Suryadi dan Andreas "Andi" Praditha. Mereka adalah pasangan yang dikenal harmonis, sukses, dan penuh pesona. Lisa adalah seorang dokter anak yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama, sementara Andi adalah motivator muda di sebuah gereja Katolik yang sedang naik daun.
Dari luar, kehidupan mereka terlihat seperti kisah cinta yang sempurna: keduanya aktif di pelayanan gereja, sering diundang sebagai pembicara seminar perkawinan, dan kerap membagikan kutipan-kutipan rohani di media sosial mereka.
Tapi di balik layar, pernikahan mereka sudah lama rapuh.
**
Patahan Iman
Krisis dimulai ketika Lisa mulai merasa terabaikan. Kesibukan Andi sebagai motivator membuatnya sering pulang malam, bahkan lebih sering menghabiskan waktu dengan aneka komunitas daripada dengan istrinya sendiri. Di sisi lain, Andi merasa Lisa semakin dingin, jarang menyentuhnya, dan lebih memilih buku atau ponsel daripada percakapan malam hari.
Ketika Lisa bertemu Felix, seorang dokter spesialis jantung yang pindah dari Jakarta, ia merasa seperti hidup kembali. Felix perhatian, humoris, dan selalu mendengarkan. Hubungan mereka dimulai dari diskusi medis hingga akhirnya menjadi makan malam berdua, lalu pelukan, lalu ciuman.
Sementara itu, Andi, yang merasa kehilangan arah, mulai dekat dengan Marta, seorang pengurus yang aktif dalam pelayanan pemuda. Marta penuh semangat dan penuh pujian. Ia memujanya dengan cara yang Lisa dulu lakukan. Dalam pelukan Marta, Andi merasa dicintai lagi.
**
Dosa yang Terang
Kehidupan ganda mereka akhirnya terbongkar ketika seorang anggota yang terlibat dalam kegiatan pemuda tempat Andi mengisi acara melihat Andi dan Marta berjalan berdua di sebuah kafe. Sementara itu, seseorang mengambil foto Lisa dan Felix sedang makan malam romantis dan mengunggahnya ke media sosial.
Dalam hitungan jam, dunia mereka runtuh.
Lisa dituding sebagai dokter yang tidak menjaga integritas. Andi dianggap motivator yang munafik. Mereka viral, dihujat, dihina, dan bahkan beberapa anggota gereja memboikot pelayanan mereka.
**
Pertemuan di Tengah Kehancuran
Di tengah hujan deras, Lisa pulang ke rumah dengan mata sembap. Ia melihat Andi duduk di ruang keluarga, menatap salib di dinding. Mereka tak bicara selama beberapa menit. Hanya suara hujan yang mengisi keheningan.
"Kita ketahuan," kata Lisa pelan.
Andi mengangguk. "Aku tahu."
Lagi-lagi, hening.
Lalu, dengan suara bergetar, Andi berkata, "Aku ingin bertobat. Aku ingin kembali ke kamu. Tapi aku takut... kamu takkan pernah bisa memaafkan aku."
Lisa menatapnya, air mata mengalir. "Aku juga takut aku tak bisa memaafkan diriku sendiri."
**
'Barangsiapa Tidak Berdosa, Melemparlah Batu'
Keesokan harinya, mereka pergi ke gereja, bukan untuk berkhotbah, tapi untuk berlutut di depan altar. Di hadapan umat, mereka mengakui kesalahan mereka. Mereka tak mencari simpati, hanya pengampunan dan kekuatan untuk berubah.
"Aku tak layak menjadi motivator," kata Andi. "Aku tak layak menjadi suami. Tapi aku ingin bertobat. Aku ingin belajar mencintai istriku lagi, dengan tulus."
Lisa menangis di sampingnya. "Aku juga berdosa. Aku juga bersalah. Aku ingin belajar memaafkan. Aku ingin belajar menjadi istri yang utuh lagi."
Umat terdiam. Beberapa menangis. Beberapa berdoa.
Seorang imam tua maju dan berkata, "Barangsiapa di antara kalian yang tidak berdosa, biarlah dia yang melempar batu pertama. Tapi barangsiapa yang sadar akan dosanya, mari belajar mengampuni seperti Tuhan mengampuni kita."
**
Jalan Berduri Menuju Pengampunan
Perjalanan mereka menuju rekonsiliasi bukanlah jalan yang lurus. Ada banyak malam di mana Lisa menangis sendirian di kamar. Ada hari-hari ketika Andi merasa tak punya kekuatan untuk bangkit. Mereka sering bertengkar, saling menyalahkan, bahkan sempat mempertimbangkan perceraian.
Tapi setiap kali mereka ingin menyerah, mereka mengingat janji mereka di depan altar: untuk bertobat bersama, dan untuk saling mengampuni seperti Kristus mengampuni.
Mereka memulai kembali dari nol. Belajar mendengarkan, belajar memaafkan, belajar mencintai. Mereka mengikuti konseling perkawinan, membaca kitab suci bersama, dan bahkan mengajar kelas pasutri di gereja sebagai bentuk pertobatan dan pelayanan.
Ada banyak kesalahan, banyak kekecewaan, dan banyak air mata. Tapi di tengah semua itu, tumbuh semacam kekuatan baru: kerendahan hati, kerelaan untuk diubah, dan iman yang tak lagi berdasarkan kesempurnaan, tapi pada kasih karunia.
Mereka merasa ada yang kurang dengan proses rekonsiliasi mereka. Belum sepenuh hati. Lalu mereka berdua datang ke gereja dan secara bergiliran mengaku dosa kepada imam tua itu. Lalu pertemuan mereka berlanjut di ruang tamu. Di sana mereka saling menguatkan dan mendengarkan nasihat-nasihat imam tua itu dengan rendah hati.
**
Bayangan yang Menghilang
Beberapa tahun kemudian, di sebuah malam yang cerah, mereka duduk di balkon rumah mereka, menghirup udara sejuk Kota Bandung. Di dalam, anak mereka, Yosef, tertidur lelap.
Lisa menatap Andi, lalu tersenyum. "Aku masih merasa bersalah, tapi aku bahagia."
Andi menggenggam tangannya. "Aku juga. Tapi kita bukan lagi orang yang sama. Kita bertobat. Kita diampuni. Dan kita diubah."
Di langit malam, bintang berkilauan. Bukan karena mereka sempurna, tapi karena mereka mau kembali, meski dengan langkah yang goyah.
Dan di tengah bayangan yang dulu mengintai, kini muncul cahaya harapan yang tak pernah padam.
***
"Barangsiapa yang tanpa dosa, melemparlah batu pertama. Tapi barangsiapa yang berdosa, belajarlah mengampuni, seperti Kristus mengampuni kita" (Bdk. Yohanes 8:7).
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI