Satu Bulan, Dua Jalan Maaf
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan sore tadi. Di sebuah kota kecil yang sunyi, Fajar duduk sendirian di bangku kayu taman, memeluk dirinya dalam dinginnya udara bulan puasa. Hatinya penuh luka, dihantam pengkhianatan sahabatnya, Rama, yang diam-diam mengambil keuntungan dari bisnis mereka dan pergi tanpa sepatah kata pun. Dendam dan amarahnya telah menjadi beban yang terlalu berat untuk dipikul.
Di sisi lain kota, di sebuah desa kecil yang sepi, Laila duduk di beranda rumahnya, menatap langit malam yang bertabur bintang. Kenangan akan pengkhianatan suaminya, Arman, masih membekas dalam hati. Setahun yang lalu, Arman meninggalkannya dan anak mereka, Rara, demi cinta lain. Meski ia mencoba tegar, bekas luka itu masih terasa seperti pisau yang menyayat hatinya setiap kali ia ingat.
Malam itu, langkah kaki mendekat menghentikan lamunan mereka. Bagi Fajar, sosok Rama muncul di hadapannya, wajahnya penuh keraguan dan penyesalan. Sedangkan bagi Laila, Arman berdiri di pintu gerbang, matanya berkaca-kaca oleh rasa bersalah.
"Fajar..." Rama berbicara dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Boleh aku duduk?"
"Laila, aku mohon maaf," ucap Arman dengan suara serak. "Aku tahu aku telah menyakitimu, tapi aku ingin memperbaiki semuanya."
Kedua pertemuan ini dipenuhi ketegangan. Fajar dan Laila sama-sama merasakan campuran emosi: kemarahan, kebencian, rasa sakit, dan sedikit harapan. Mereka tidak tahu apakah bisa mempercayai orang-orang yang pernah menghancurkan hidup mereka.
Fajar menatap Rama dengan dingin. "Apa yang kau mau?" tanyanya tajam.
"Aku... Aku tahu aku telah menyakitimu," kata Rama, suaranya bergetar. "Aku bukan hanya mengkhianatimu, aku juga mengkhianati diriku sendiri. Selama ini aku hidup dalam rasa bersalah, dan aku tahu tak ada alasan yang bisa membenarkan apa yang telah aku lakukan."
Laila, di sisi lain, menatap Arman dengan tatapan penuh amarah. "Kenapa sekarang? Kenapa setelah setahun kau baru muncul dan meminta maaf?"
Arman menunduk, suaranya penuh penyesalan. "Aku sadar, Laila. Aku sadar bahwa apa yang kulakukan salah. Aku telah kehilangan yang terbaik dalam hidupku. Aku ingin mencoba lagi, untuk kita, untuk Rara."
Keduanya -Fajar dan Laila- mengalami dilema yang sama. Memaafkan adalah hal yang sulit, terutama ketika luka begitu dalam. Namun, di tengah malam yang sunyi, suara azan Isya berkumandang, seakan memberi tanda untuk membuka hati.
Fajar menutup matanya sejenak, mendengar gema suara azan. Ia mencoba memahami perasaannya sendiri. "Kau tahu," katanya akhirnya, "aku ingin membencimu selamanya. Tapi aku sadar, itu hanya akan membuatku lebih lelah. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu dan mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku bisa memilih bagaimana aku melanjutkan hidup."
Rama menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Fajar. Kau tidak tahu betapa berartinya ini bagiku."
Sementara itu, Laila memutuskan untuk berbicara dengan Arman keesokan harinya. Mereka duduk di ruang tamu, suasana tegang terasa di antara mereka. "Arman, aku tidak bisa menjanjikan apapun. Aku masih terluka, dan aku butuh waktu untuk memaafkanmu," ujar Laila dengan suara tegas.
Arman mengangguk, "Aku mengerti, Laila. Aku tidak meminta kau untuk langsung memaafkanku. Aku hanya ingin kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Hari-hari berikutnya, Rama mulai mendekati Fajar, mencoba untuk memperbaiki hubungan mereka meski perlahan-lahan. Sementara itu, Arman berusaha keras untuk kembali menjadi bagian dari kehidupan Laila dan Rara. Namun, proses ini tidak mudah. Setiap kali Arman melakukan kesalahan kecil, Laila merasa amarahnya membara. Begitu pula dengan Fajar, yang masih ragu apakah Rama benar-benar berubah.
Suatu sore, saat mereka duduk di teras rumah, Laila akhirnya meluapkan perasaannya. "Arman, aku tidak tahu apakah aku bisa melupakan apa yang telah kau lakukan. Setiap kali aku melihatmu, aku ingat betapa sakitnya aku saat kau pergi."
Arman menatap Laila dengan penuh penyesalan, "Aku tahu, Laila. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi aku berjanji, aku akan melakukan apapun untuk memperbaiki semuanya. Aku mencintaimu, dan aku mencintai Rara. Aku tidak ingin kehilangan kalian lagi."
Laila meneteskan air mata. Dia tahu bahwa memaafkan adalah pilihan yang sulit, tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam kebencian. "Aku akan mencoba, Arman. Tapi ini tidak akan mudah."
Di taman kecil tempat Fajar dan Rama biasa bertemu, mereka duduk berdua di bawah sinar bulan. "Aku tidak akan pernah lupa apa yang kau lakukan," kata Fajar pelan. "Tapi... mungkin aku bisa belajar memaafkan."
Rama tersenyum lemah, "Terima kasih, Fajar. Aku akan membuktikan bahwa aku layak mendapatkan kepercayaanmu lagi."
Bulan puasa terus berjalan, dan kedua pasangan ini merasakan perubahan dalam diri mereka. Laila mulai melihat usaha Arman sebagai suatu bentuk keseriusan. Fajar, meski masih waspada, mulai percaya bahwa Rama benar-benar menyesal.
Pada malam terakhir bulan puasa, Laila, Arman, dan Rara duduk bersama di meja makan. Rara tiba-tiba berkata, "Ibu, Ayah, aku senang kita bisa bersama lagi."
Laila dan Arman saling memandang, dan untuk pertama kalinya dalam setahun, Laila merasa damai. Di taman, Fajar dan Rama duduk dalam keheningan, namun ada ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Bulan suci hampir mencapai puncaknya, dan meski jalan mereka masih panjang, mereka semua tahu bahwa memaafkan bukanlah tentang melupakan, melainkan tentang memberi ruang bagi cinta dan kedamaian. Mereka tidak tahu apakah hubungan mereka akan kembali seperti dulu, tapi mereka yakin bahwa dengan cinta, kesabaran, dan maaf, mereka bisa melewati segala rintangan.
Di bawah cahaya bulan yang terang, mereka memilih untuk menjalani hari-hari ke depan dengan hati yang lebih ringan, membiarkan waktu yang akan menjawab segalanya.
Malam itu, langit penuh bintang, dan angin malam terasa lebih sejuk. Fajar melihat bayangan Rama yang berjalan menjauh, sementara Laila memandangi Arman yang tertidur di sofa. Mereka berdua tersenyum tipis, menyadari bahwa hidup tidak selalu sempurna, tapi cinta dan maaf adalah cahaya yang bisa membimbing mereka melalui kegelapan.
Dan di sanalah, di bawah bulan penuh cahaya, mereka memilih untuk melangkah maju, membawa harapan dan keyakinan bahwa hari esok akan lebih baik.
Bulan puasa belum berakhir, baru pertengahan jalan. Memaafkan jangan tunggu akhir masa puasa. Memaafkan adalah proses, bukan sekadar kata. Beri ruang untuk cinta dan kedamaian, karena hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kebencian. Di bawah cahaya bulan yang terang, mari kita melangkah maju dengan hati yang lebih ringan, membawa harapan dan keyakinan bahwa hari esok akan lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI