Mohon tunggu...
Alexandro Gabrielle Sormin
Alexandro Gabrielle Sormin Mohon Tunggu... Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN

Saya suka baca buku dan bermain alat musik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Moral Hazard dalam Worker's Compensation di Indonesia

25 Agustus 2025   10:02 Diperbarui: 25 Agustus 2025   10:02 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Alexandro Gabrielle Sormin

Program Studi Akuntansi Sektor Publik Sarjana Terapan

Program kompensasi pekerja, yang dirancang sebagai jarring pengaman sosial bag tenaga kerja yang mengalami kecelakaan atau sakit akibat segala kejadian di tempat kerja, merupakan pilar penting dalam sistem ketenagakerjaan modern. Di Indonesia, peran ini diemban oleh BPJS Ketenagakerjaan melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Namun, di balik tujuan mulia program tersebut untuk melindungi pekerja, program ini memiliki risiko inheren yang dikenal sebagai moral hazard. Fenomena ini menjadi tantangan serius yang dapat mengancam keberlanjutan dan keefektivitasan program tersebut. Mengapa hal tersebut dapat menjadi ancaman? Sebelum itu, mari mengenal tentang moral hazard dalam kompensasi pekerja lebih lanjut.

Memahami Konsep Moral Hazard dalam Kompensasi Pekerja

Moral Hazard atau bahaya moral merupakan sebuah konsep dalam ekonomi yang terjadi ketika satu pihak memiliki insentif untuk mengambil risiko lebih besar karena tidak menanggung seluruh biaya dari risiko tersebut. Dalam konteks asuransi, moral hazard muncul saat perilaku pihak yang diasuransikan berubah setelah mendapatkan perlindungan, yang kemudian meningkatkan biaya bagi pihak penanggung asuransi.

Dalam kompensasi pekerja, moral hazard dapat berwujud dalam dua bentuk utama:

1. Ex-ante Moral Hazard. Ex-ante Moral Hazard merupakan moral hazard yang terjadi sebelum terjadinya suatu kecelakaan. Pekerja yang merasa terlindungi oleh program kompensasi ini, menjadi kurang berhati-hati dalam menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Mereka mengambil jalan pintas atau mengabaikan prosebur keselamatan karena tahu bahwa jika terjadi kecelakaan, biaya pengobatan dan tidak mendapatkan gaji karena sakit, akan ditanggung oleh asuransi. Perilaku ini secara tidak langsung meningkatkan frekuensi dan peluang terjadinya kecelakaan kerja.

2. Ex-post Moral Hazard. Perilaku ini muncul setelah kecelakaan atau cedera terjadi. Adanya jaminan kompensasi dapat mendorong pekerja untuk:

  • Memperpanjang masa pemulihan. Pekerja akan tinggal di rumah lebih lama dari yang seharusnya karena mereka tetap menerima Sebagian atau keseluruhan gajinya.
  • Melebih-lebihkan tingkat keparahan cedera. Untuk mendapatkan manfaat atau kompensasi yang lebih besar, para pekerja ini akan melaporkan gejala atau cedera yang lebih parah dari seharusnya untuk mengklaim ketidakmampuan bekerja mereka agar mereka tidak perlu bekerja.
  • Mengajukan klaim palsu. Dalam kasus ekstem, pekerja dapat mengajukan klaim atas cedera yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, bahkan sampai memalsukan bukti dan cedera yang dialaminya.

Fenomena ini dipicu oleh adanya asimetri informasi yang di mana sang pekerja memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi kesehatannya daripada perusahaan atau pihak asuransi Jaminan Keselamatan Kerja pekerja tersebut. Dengan adanya asimetri informasi tersebut, biaya program JKK tersebut meningkat, produktifitas menurun, dan potensi ketidakadilan dalam sistem pun muncul.

Penerapan dan Contoh Moral Hazard di Indonesia

Sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, menyediakan berbagai manfaat di bawah program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Manfaat tersebut mencakup biaya perawatan medis tanpa batas plafon, santunan sementara tidak mampu bekerja (STMB), santunan cacat, hingga program kembali bekerja (return to work). Kelengkapan manfaat ini, meskipun sangat baik bagi pekerja, secara inheren membuka celah bagi munculnya moral hazard.

Contoh-contoh potensial moral hazard dalam konteks Indonesia:

  • Klaim Cedera Punggung atau Otot yang Sulit Diverifikasi: Seorang pekerja pabrik yang mengalami nyeri punggung ringan mungkin akan mengklaimnya sebagai cedera akibat kerja untuk mendapatkan waktu istirahat dan kompensasi STMB. Cedera semacam ini, yang diagnosisnya seringkali bergantung pada laporan subjektif pasien, sangat rentan terhadap moral hazard karena sulit bagi dokter atau pihak penilai untuk memverifikasi tingkat keparahan sebenarnya.
  • Memperpanjang Cuti Sakit Setelah Kecelakaan Ringan: Seorang kurir yang mengalami lecet di kaki akibat kecelakaan kecil dalam perjalanan menuju tempat kerja bisa saja meminta dokter untuk memberikan surat keterangan istirahat yang lebih lama dari yang dibutuhkan. Ia melakukan ini karena mengetahui bahwa STMB akan menggantikan sebagian besar pendapatannya yang hilang.
  • Mengabaikan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD): Di sektor konstruksi atau manufaktur, pekerja mungkin merasa lebih "nyaman" bekerja tanpa APD lengkap seperti helm atau sarung tangan. Adanya JKK bisa jadi mengurangi persepsi risiko finansial pribadi jika terjadi kecelakaan, sehingga mendorong perilaku abai terhadap prosedur K3.
  • Klaim Penyakit Akibat Kerja yang Ambigu: Penyakit yang berkembang secara bertahap seperti stres atau gangguan muskuloskeletal bisa jadi diklaim sebagai akibat dari lingkungan kerja, meskipun faktor gaya hidup di luar pekerjaan juga turut berkontribusi. Tanpa proses verifikasi yang ketat, klaim semacam ini dapat meningkatkan beban biaya program JKK.

Meskipun data spesifik mengenai prevalensi moral hazard dalam klaim JKK di Indonesia sulit ditemukan, lonjakan jumlah klaim JKK yang dilaporkan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam beberapa tahun terakhir—mencapai 360.635 kasus pada Januari-November 2023—menjadi sinyal bahwa risiko ini perlu diwaspadai dengan serius.

Pendekatan Mana yang Lebih Baik untuk Indonesia?

Mengatasi moral hazard bukanlah tentang menghapus program kompensasi, melainkan tentang merancang sistem yang lebih cerdas untuk menyeimbangkan antara perlindungan pekerja dan mitigasi risiko penyalahgunaan. Tidak ada solusi tunggal, namun kombinasi dari beberapa pendekatan berikut dianggap lebih baik dan relevan untuk konteks Indonesia:

1. Penguatan Sistem Verifikasi dan Audit Medis

Pendekatan ini adalah garda terdepan dalam melawan ex-post moral hazard. BPJS Ketenagakerjaan perlu memperkuat tim medis dan auditornya untuk melakukan verifikasi klaim secara lebih ketat.

  • Penerapan Independent Medical Examination (IME): Untuk klaim jangka panjang atau yang meragukan, penggunaan dokter independen untuk memberikan opini medis kedua dapat membantu memastikan objektivitas diagnosis dan durasi pemulihan yang direkomendasikan.
  • Analisis Data Klaim: Menggunakan analisis data untuk mengidentifikasi pola klaim yang tidak wajar—misalnya, klaim yang sering diajukan pada hari Senin atau Jumat, atau klaim dari perusahaan tertentu yang melonjak drastis—dapat membantu menargetkan audit secara lebih efektif.
  • Standarisasi Pedoman Medis: Membuat pedoman yang jelas mengenai durasi pemulihan standar untuk berbagai jenis cedera dapat menjadi acuan bagi dokter dan mengurangi variasi yang tidak perlu dalam pemberian surat istirahat.

2. Desain Manfaat yang Mendorong Insentif Kembali Bekerja

Struktur manfaat itu sendiri dapat dimodifikasi untuk mengurangi insentif berlama-lama tidak bekerja.

  • Stepped-down Benefits: Menerapkan sistem di mana persentase santunan STMB menurun secara bertahap setelah periode waktu tertentu. Misalnya, 100% upah untuk 6 bulan pertama, kemudian turun menjadi 75% untuk bulan-bulan berikutnya. Ini akan menciptakan insentif finansial bagi pekerja untuk pulih dan kembali bekerja lebih cepat.
  • Fokus pada Program Return to Work (RTW): Program RTW yang proaktif adalah salah satu instrumen paling efektif. BPJS Ketenagakerjaan dan perusahaan harus bekerja sama untuk menyediakan pekerjaan alternatif atau tugas yang dimodifikasi (tugas ringan) bagi pekerja yang belum sepenuhnya pulih. Ketersediaan tugas ringan ini mengurangi alasan bagi pekerja untuk tetap di rumah.

3. Penerapan Skema Berbasis Pengalaman (Experience Rating) bagi Perusahaan

Ini adalah pendekatan ex-ante yang sangat kuat. Iuran JKK di Indonesia saat ini sudah memiliki tingkatan risiko, namun sistem experience rating akan lebih jauh menyesuaikan besaran iuran perusahaan berdasarkan riwayat klaim kecelakaan kerjanya. Perusahaan dengan catatan keselamatan yang baik dan sedikit klaim akan membayar iuran yang lebih rendah, sementara perusahaan dengan banyak klaim akan dikenakan iuran yang lebih tinggi. Skema ini memberikan insentif finansial yang kuat bagi perusahaan untuk:

  • Berinvestasi lebih serius pada program K3.
  • Secara aktif mengelola dan memantau klaim pekerjanya.
  • Mencegah praktik moral hazard karena klaim yang tidak perlu akan berdampak langsung pada biaya premi mereka.

4. Edukasi dan Penegakan Hukum

Meningkatkan kesadaran di kalangan pekerja dan pemberi kerja tentang konsep moral hazard dan konsekuensi hukum dari pengajuan klaim palsu sangatlah penting. Penegakan sanksi yang tegas bagi pihak yang terbukti melakukan kecurangan dapat menciptakan efek jera yang signifikan.

Kesimpulan

Moral hazard adalah tantangan yang tidak terpisahkan dari setiap program asuransi sosial, termasuk kompensasi pekerja di Indonesia. Mengabaikannya dapat menyebabkan pembengkakan biaya, merusak kepercayaan publik, dan mengancam keberlanjutan fiskal BPJS Ketenagakerjaan.

Pendekatan terbaik untuk Indonesia bukanlah memilih satu strategi tunggal, melainkan menerapkan kerangka kerja komprehensif yang terintegrasi. Ini melibatkan penguatan verifikasi medis yang ketat, desain manfaat yang cerdas, penerapan experience rating yang sesungguhnya untuk mendorong peran aktif perusahaan, serta didukung oleh edukasi dan penegakan hukum. Dengan menyeimbangkan antara perlindungan yang memadai bagi pekerja dan mekanisme kontrol yang kuat, Indonesia dapat memastikan bahwa program Jaminan Kecelakaan Kerja tetap efektif mencapai tujuan mulianya tanpa tergerus oleh dilema bahaya moral.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun