Oleh Alexandro Gabrielle Sormin
Program Studi Akuntansi Sektor Publik Sarjana Terapan
Program kompensasi pekerja, yang dirancang sebagai jarring pengaman sosial bag tenaga kerja yang mengalami kecelakaan atau sakit akibat segala kejadian di tempat kerja, merupakan pilar penting dalam sistem ketenagakerjaan modern. Di Indonesia, peran ini diemban oleh BPJS Ketenagakerjaan melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Namun, di balik tujuan mulia program tersebut untuk melindungi pekerja, program ini memiliki risiko inheren yang dikenal sebagai moral hazard. Fenomena ini menjadi tantangan serius yang dapat mengancam keberlanjutan dan keefektivitasan program tersebut. Mengapa hal tersebut dapat menjadi ancaman? Sebelum itu, mari mengenal tentang moral hazard dalam kompensasi pekerja lebih lanjut.
Memahami Konsep Moral Hazard dalam Kompensasi Pekerja
Moral Hazard atau bahaya moral merupakan sebuah konsep dalam ekonomi yang terjadi ketika satu pihak memiliki insentif untuk mengambil risiko lebih besar karena tidak menanggung seluruh biaya dari risiko tersebut. Dalam konteks asuransi, moral hazard muncul saat perilaku pihak yang diasuransikan berubah setelah mendapatkan perlindungan, yang kemudian meningkatkan biaya bagi pihak penanggung asuransi.
Dalam kompensasi pekerja, moral hazard dapat berwujud dalam dua bentuk utama:
1. Ex-ante Moral Hazard. Ex-ante Moral Hazard merupakan moral hazard yang terjadi sebelum terjadinya suatu kecelakaan. Pekerja yang merasa terlindungi oleh program kompensasi ini, menjadi kurang berhati-hati dalam menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Mereka mengambil jalan pintas atau mengabaikan prosebur keselamatan karena tahu bahwa jika terjadi kecelakaan, biaya pengobatan dan tidak mendapatkan gaji karena sakit, akan ditanggung oleh asuransi. Perilaku ini secara tidak langsung meningkatkan frekuensi dan peluang terjadinya kecelakaan kerja.
2. Ex-post Moral Hazard. Perilaku ini muncul setelah kecelakaan atau cedera terjadi. Adanya jaminan kompensasi dapat mendorong pekerja untuk:
- Memperpanjang masa pemulihan. Pekerja akan tinggal di rumah lebih lama dari yang seharusnya karena mereka tetap menerima Sebagian atau keseluruhan gajinya.
- Melebih-lebihkan tingkat keparahan cedera. Untuk mendapatkan manfaat atau kompensasi yang lebih besar, para pekerja ini akan melaporkan gejala atau cedera yang lebih parah dari seharusnya untuk mengklaim ketidakmampuan bekerja mereka agar mereka tidak perlu bekerja.
- Mengajukan klaim palsu. Dalam kasus ekstem, pekerja dapat mengajukan klaim atas cedera yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, bahkan sampai memalsukan bukti dan cedera yang dialaminya.
Fenomena ini dipicu oleh adanya asimetri informasi yang di mana sang pekerja memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi kesehatannya daripada perusahaan atau pihak asuransi Jaminan Keselamatan Kerja pekerja tersebut. Dengan adanya asimetri informasi tersebut, biaya program JKK tersebut meningkat, produktifitas menurun, dan potensi ketidakadilan dalam sistem pun muncul.
Penerapan dan Contoh Moral Hazard di Indonesia
Sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, menyediakan berbagai manfaat di bawah program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Manfaat tersebut mencakup biaya perawatan medis tanpa batas plafon, santunan sementara tidak mampu bekerja (STMB), santunan cacat, hingga program kembali bekerja (return to work). Kelengkapan manfaat ini, meskipun sangat baik bagi pekerja, secara inheren membuka celah bagi munculnya moral hazard.