Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Editor, Writer and Founder of Books For Santri (Khujjatul Islam Boarding School)

Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Setangkai Bunga Kering

30 Oktober 2022   22:01 Diperbarui: 30 Oktober 2022   23:01 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
my fiksiens ilustration

Terik siang itu menyajikan dahaga. Rumput pun enggan tertiup sepoinya angin, aku menatap sipit langit cerah entah dia berawan mendung namun seketika ia kembali memancar panas. Hiruk pikuk ramai kota siang itu memberiku banyak arti bahwa tangkai bunga harus berdamai. Benar sekali! berdamai pada lajunya kota bersama terik cuaca yang tak tentu ditambah polusi jadi konsumsinya saban hari. 

Dari gedung megah bersama awan dan cuaca yang tak tentu itu terdengar kabar bahwa hanya ada setangkai bunga dan foto diri sang Wisudawan. Dia pergi ke kehariban Ilahi namun seremonial prihal kelulusannya berlangung bersama belasungkawa hanya ada setangakai bunga dan foto diri sekali lagi. 

Kabar belasungkawa berlangsung datang lagi dari sudut riuh ribuawan wisudawan siang itu. Sang ibu harus pergi dimalam hari ke kehariban Ilahi sehari atau semalam sebelum serimonial kelulusan sang anak. Setelah sematan gelar itu didaptakan sang anak harus tanggalkan uforia kebahagiannya jadi duka mendalam. Jenazah sang ibu harus dituntaskannya. Dari sudut kota Jogja di tengah megah gedung itu ia berlari lalu bergegas dengan pesawat terbang membawakan jenazah itu ke daerahnya. 

Sekian kabar belasungkawa hari ini. Biarlah cerita ini jadi tutran duka untuk kita menghargai bahwa satu sama lain berharga khusus untuk anak dan sang ibu, bunda, ayah mapun sang bapak. 

Keesokan siang harinya. Kota itu bertutur lagi dengan hiruk pikuknya tentang kisah akhir pekan yang macet dan acara serimonial kelulusan wisudawan. Kali ini membuatku tertegun lirih ringkih lalu menyesali sebuah peristiwa di hadapan ketika mata menyaksikan peristiwa tak dikehendaki itu.

Bersama mendung dan sekita panas terlihat satu sosok ayah lesuh letih didepan gedung megah seusai beberapa jam berlangsung serimonial kelulusan siang itu. Sang anak sibuk beruforia dan berfoto-foto dengan kawan atau entahlah sahabatnya bahkan mungkin teman barunya yang dijumpainya di caffe dan tempat lainnya. 

Baca juga: Alunan Nurani

Sang ayah menunggu diteriki matahari bersama setangkai bunga kering yang digenggamnya. Hati sangat miris melihat itu sesampai ilustrasi fiksi ini dituliskan. 

"Owh baru saja kau langsungkan kegembiraan pencapaian awal sebagai manusia bergelar di dunia. Terkadang hal setangaki bunga kering digenggam oleh sang ayah dianggapnya sepele. Riuh mu itu sejatinya dari perasan keringat sang ayah berpuluh tahun lamanya. Aku tak ingin menghakimi langsung apatah lagi menyekapmu sebagai fakata cukup jadi fiksi hanya sebuah renungan dan refleksi diri. Betapa sang ayah dengan setangkai bunga kering digenggamannya tepat di depan gedung mewah tempatmu kuliah ia terpapar terik dan polusi jalanan. Selamat untuk sepelenya empatimu kawan. Dan itu pada ayahmu sendiri."  Lirihku.

Semoga masih banyak hati-hati yang menjaga dan mengahargai keringat sang ayah dari hal paling kecil atau terlihat "sepele". Semoga!

Salam dari sudut kota di dinding malam bersama cuaca sejuk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun