Remaja adalah fase yang unik---rapuh sekaligus penuh energi, ingin bebas sekaligus butuh bimbingan.
"Membangun ikatan emosional dengan remaja berbeda dengan anak SD atau SMP. Kadang kita harus menjadi guru, kadang kita harus menjadi teman."
Ustadzah Alfina memahami betul tarik ulur itu. Ia tahu, jika terlalu keras, anak-anak akan menjauh. Jika terlalu longgar, mereka bisa terjerumus dalam kebebasan yang salah arah. Maka, ia memilih jalan tengah: menjadi figur yang ramah namun berwibawa.
Setiap pagi ia menyapa satu per satu murid, memastikan tak ada yang merasa terabaikan. Ia mendengar cerita ringan tentang hobi, bahkan curhat tentang masalah remaja. Namun ketika disiplin dibutuhkan, ia tetap tegas.
Ikatan emosional itu bukan dibangun dalam sehari. Ia lahir dari ribuan percakapan kecil, dari senyum yang konsisten, dan dari doa yang diam-diam dipanjatkan setiap malam untuk murid-muridnya.
Pengalaman Berkesan: Air Mata di Balik Prestasi
Di mata banyak orang, prestasi siswa adalah angka, medali, atau piala. Tapi bagi seorang wali kelas, prestasi adalah cerita panjang penuh pengorbanan.
"Saat anak-anak berhasil meraih prestasi, ada kebanggaan sekaligus haru. Karena saya tahu, mereka sampai di sana lewat proses panjang."
Ustadzah Alfina pernah menyaksikan murid yang awalnya pemalu, enggan berbicara di depan umum, akhirnya berani tampil dalam lomba pidato. Ada juga siswa yang kesulitan dalam mata pelajaran tertentu, namun dengan kesabaran akhirnya meraih nilai yang membanggakan.
Di balik momen itu, ia selalu menahan air mata haru. Baginya, sukses murid adalah sukses wali kelas. Bukan hanya karena ilmunya tersampaikan, tetapi karena ia menjadi saksi nyata bahwa doa, bimbingan, dan semangat bisa mengubah nasib seseorang.
