Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hadir sebagai salah satu terobosan besar yang bertujuan memastikan seluruh siswa mendapatkan asupan gizi seimbang setiap harinya agar lebih lebih sehat sehingga fokus belajar. Namun, MBG juga datang dengan sisi lain cerita. Di balik porsi makanan yang seragam ada kisah unik yang menarik untuk kita bahas. Terutama soal perilaku anak-anak terhadap makanan dan bagaimana sekolah harus bijak mengelolanya.
Setiap porsi makanan MBG telah ditakar dengan standar gizi yang ditentukan pemerintah. Semua siswa mendapatkan ompreng yang sama, baik dari sisi karbohidrat, lauk, sayur, hingga buah. Sistem ini membuat proses distribusi lebih praktis dan adil.
Namun, yang sering luput dari perhatian adalah fakta bahwa anak-anak masih berada dalam tahap belajar menyukai ragam makanan. Tidak semua langsung bisa menerima rasa sayuran tertentu, tidak semua suka tempe atau tahu, bahkan ada yang alergi pada bahan makanan tertentu.
Situasi ini memunculkan fenomena masih banyak makanan yang akhirnya tidak dimakan. Ada siswa yang hanya memilih nasi dan lauk ayam, sementara sayurnya ditinggalkan. Ada pula yang memakan buah dan sayur saja tapi enggan menyentuh lauknya.
Bayangkan jika ditotal dalam skala besar akan ada banyak sisa makanan yang terbuang setiap harinya. Laporan menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan timbunan sampah makanan terbesar di dunia per orang per tahunnya. Angka ini tentu memprihatinkan. Maka, membuang MBG begitu saja jelas bukan solusi yang bijak.
Di sinilah kita dituntut untuk kreatif. Tidak cukup hanya menyajikan MBG tetapi juga harus mencari cara bagaimana agar makanan benar-benar termakan. Atau setidaknya tidak berakhir sebagai limbah yang merugikan.
Salah satu solusi menarik datang dari sekolah kami. Yakni pada hari kedua pelaksanaan MBG, tepatnya Selasa kemarin, 30 September 2025. Menu pelengkap kala itu adalah tahu goreng.
Ternyata, sebagian besar siswa tidak begitu tertarik dengan menu tahu goreng yang disajikan. Bukannya rusak, tahu itu masih utuh dan tidak disentuh sama sekali. Hal ini menimbulkan kekhawatiran. Apakah semua harus dibuang begitu saja?
Namun, alih-alih membuangnya, guru menyelamatkannya lalu menyerahkan ke pihak kantin. Tahu-tahu yang masih layak itu dikumpulkan dengan cara higienis. lalu diolah kembali menjadi menu baru. Kemudian jadilah tahu kuah pedas manis setelah diberi saus dan kecap.
Langkah sederhana ini memberi dampak besar. Tahu yang tadinya tidak dilirik, justru tampil dalam balutan rasa baru yang menggugah selera dan bisa dikonsumsi.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa upcycle food akhirnya menjadi praktik nyata yang bisa dilakukan sekolah untuk mengurangi food waste. Yang penting, pengelolaan dilakukan dengan higienis, aman, dan tetap mempertahankan kualitas gizi.