Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Bermutu untuk Anak Siap Hadapi Dominasi AI Abad 21

14 September 2025   08:21 Diperbarui: 14 September 2025   08:21 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tantangan dan peluang bagi guru mempersiapan pendidikan bermutu untuk siswa hadapi abad 21 di era kecerdasan buatan. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Suasana kelas biasanya penuh dengan keceriaan khas anak. Namun, siapa sangka di tengah-tengah pelajaran, muncul celetukan yang tak terduga. "Pak, bikin tugas dibantu ChatGPT boleh nggak?", pertanyaan polos ini sontak membuat saya kaget sekaligus tertegun. Ternyata, anak-anak SD sudah mengenal kecerdasan artifisial (AI) dan bahkan mencoba mengaitkannya dengan tugas sekolah.

Fenomena ini menunjukkan bahwa penetrasi teknologi sudah merambah hingga ke usia dini. Anak-anak bukan hanya tahu tentang gadget atau aplikasi media sosial tetapi sudah mulai menyinggung teknologi mutakhir seperti AI. Hal ini menjadi bukti bahwa mereka tumbuh dalam ekosistem digital yang sangat cepat berubah.

Kurikulum Merdeka yang kini diterapkan memang memberikan ruang lebih luas bagi pengenalan teknologi. Salah satunya adalah pelajaran tentang koding dan kecerdasan artifisial. Jadi, wajar saja jika anak-anak kita sedikit banyak sudah familiar dengan AI. meskipun penggunaannya masih sebatas iseng atau membantu tugas sekolah.

Namun, ada hal menarik yang bisa dipetik. Celetukan siswa tadi sebenarnya adalah tanda rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka penasaran, apakah teknologi boleh dipakai untuk mendukung belajar. Rasa penasaran inilah yang harus ditangkap guru sebagai peluang emas untuk mengarahkan mereka pada pemanfaatan teknologi yang bijak.

Menurut data UNICEF, setiap setengah detik seorang anak di dunia mengakses internet untuk pertama kalinya. Sedangkan menurut BPS 2024 menyebut bahwa 35,57 persen anak sudah mengakses internet. meskipun kebanyakan untuk hiburan atau permainan. Angka ini tentu menjadi alarm sekaligus peluang.

Guru perlu memahami bahwa teknologi bukan lagi sesuatu yang jauh dari kehidupan siswa. Jika dulu literasi hanya terbatas pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, kini literasi digital menjadi keterampilan baru yang wajib dikuasai. Tanpa itu, anak bisa terjebak hanya menjadi konsumen teknologi, bukan pencipta atau pengembangnya.

ChatGPT, misalnya, adalah contoh nyata dari AI generatif yang bisa menulis, menjawab pertanyaan, hingga membantu membuat kode pemrograman. Di tangan anak SD, aplikasi ini bisa saja dipakai untuk hal sederhana seperti mencari penjelasan mudah tentang pelajaran matematika atau menyusun karangan pendek.

Apakah ini berbahaya? Tidak selalu. Justru jika diarahkan dengan tepat maka anak bisa belajar lebih cepat. Namun, masalahnya muncul ketika teknologi ini dijadikan jalan pintas tanpa benar-benar memahami konsep dasar yang sedang dipelajari.

Sebagai guru, tentu ada kekhawatiran. Bagaimana membedakan mana tugas yang benar-benar hasil pemikiran siswa dan mana yang hanya hasil copy-paste dari AI? Inilah tantangan baru dalam dunia pendidikan saat ini.

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menulis refleksi pribadi atau melakukan tes lisan. Guru dapat menanyakan langsung kepada siswa tentang bagaimana perasaannya. Jika siswa bisa menjelaskan dengan lancar maka tugas itu memang ia pahami. Tetapi jika bingung menjawab maka bisa jadi itu hasil AI. Refleksi ini sulit ditiru oleh AI karena memerlukan sentuhan pengalaman pribadi.

Di sisi lain, fenomenan penggunaan AI bisa menjadi bahan ajar Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). Misalnya, mengajak siswa melakukan eksperimen kecil membandingkan jawaban yang diberikan ChatGPT dengan jawaban yang ada di buku pelajaran. Dari sini siswa diajak berpikir kritis. Maka siswa akan belajar bahwa teknologi tidak selalu sempurna. Ada kalanya jawaban AI kurang tepat atau bahkan keliru. Disinilah pentingnya critical thinking, kemampuan memilah dan menilai informasi sebelum mempercayainya mentah-mentah.

Penting juga untuk menanamkan nilai kejujuran sejak dini. Guru bisa menjelaskan bahwa menggunakan AI harus dengan cara yang benar. Yakni sebagai alat bantu dan bukan sebagai pengganti pemikiran sendiri. Hal ini selaras dengan konsep AI Literacy yang kini mulai diperkenalkan di dunia pendidikan. Supaya memahami bagaimana cara kerja AI, potensi, risiko, dan etika dalam menggunakannya.

Indonesia pun sebenarnya tidak ketinggalan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) sudah merancang modul-modul mengenalkan koding dan KA kepada siswa. Arah ini sangat tepat untuk menyiapkan generasi yang siap hadapi tantangan abad 21.

Pendidikan bermutu abad 21, hadapi ledakan AI di kelas. Pengalaman saya jumpai anak SD sudah tahu ChatGPT. (KOMPAS/HERYUNANTO)
Pendidikan bermutu abad 21, hadapi ledakan AI di kelas. Pengalaman saya jumpai anak SD sudah tahu ChatGPT. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Kembali ke kelas, celetukan siswa tadi bisa menjadi momen refleksi bagi guru. Dunia sudah berubah dan siswa kita lahir di era digital. Maka cara mendidik pun harus menyesuaikan zaman. Guru memposisikan teknologi harus dirangkul dan dijadikan partner dalam proses belajar-mengajar. 

Fakta lain yang tak kalah menarik berdasarkan proyeksi World Economic Forum bahwa kemampuan berpikir kritis, kreativitas, literasi digital, koding dan kecerdasan artifisial menjadi keterampilan yang harus dimiliki anak di masa depan. Artinya, sejak dini mereka diajarkan keterampilan abad 21: berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Maka peluang untuk bertahan kelak akan lebih besar.

Tentu saja peran guru tetap krusial. Guru bukan sekadar penyampai materi tetapi juga pengarah moral dan nilai. AI bisa memberi jawaban tapi AI belum sepenuhnya bisa menanamkan empati atau pun rasa tanggung jawab. Maka, guru harus bisa menyeimbangkan itu semua. Memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu belajar sembari menanamkan nilai-nilai karakter yang kuat.

Kebiasaan sederhana seperti memberi apresiasi pada usaha siswa meskipun hasilnya belum sempurna bisa menjadi cara efektif. Dengan begitu, siswa akan lebih bangga pada hasil karyanya sendiri daripada sekadar mengandalkan jawaban ala AI.

Selain itu, perlu kolaborasi guru dan orangtua. bahwa anak-anak sekarang hidup di era yang berbeda. Maka, pengawasan penggunaan teknologi di rumah menjadi sangat penting. Bila diarahkan anak bisa menggunakan teknologi untuk belajar bahasa, matematika, sains atau pelajaran lain.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah penguasaan guru terhadap teknologi itu sendiri. Guru pun harus terus belajar. Pelatihan bagi guru tentang penggunaan AI dalam pembelajaran perlu lebih sering diadakan. Dengan begitu, guru bisa lebih siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan unik dari siswa termasuk celetukan tentang ChatGPT tadi.

Teknologi selalu berkembang. Bisa jadi beberapa tahun ke depan bukan lagi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) yang jadi bahan perbincangan tetapi aplikasi lain yang lebih canggih. Karenanya, pendidikan bermutu itu adaptif dan terbuka terhadap perubahan. Adaptasi ini bukan hanya soal teknis tetapi juga mindset. Guru harus melihat teknologi sebagai peluang bukan ancaman. Jika guru memiliki sikap positif maka siswa pun akan menirunya.

Menghadapi era AI, sekolah juga perlu menyesuaikan kebijakan. Misalnya, membuat aturan yang jelas tentang penggunaan AI dalam mengerjakan tugas. Sederhananya, AI boleh dipakai untuk mencari informasi tapi siswa tetap harus menuliskan jawaban dengan bahasa mereka sendiri. Aturan semacam ini tidak hanya melatih kejujuran tetapi juga melatih kemampuan menyaring informasi. Siswa belajar bahwa AI hanyalah alat bantu. sementara pemahaman tetap harus dikelola oleh diri sendiri.

Pendidikan bermutu di abad 21 memang penuh tantangan. Jika dulu tantangannya adalah keterbatasan akses informasi maka kini tantangannya justru banjir informasi. Anak-anak bisa mencari jawaban apapun di internet. tetapi belum tentu mereka paham bagaimana menggunakan informasi itu dengan benar.

Oleh karena itu, kemampuan literasi digital menjadi keterampilan dasar yang sama pentingnya dengan membaca dan menulis. Anak-anak yang tidak memiliki literasi digital bisa mudah terjebak dalam hoaks, plagiarisme, bahkan menjadi korban ataupun pelaku kejahatan berbasis AI.

Motivasi serta tugas guru dan orangtua kini semakin penting dalam membekali anak dengan keterampilan berpikir kritis. Dengan keterampilan berpikir kritis maka anak tidak hanya sekadar menerima informasi dari AI tetapi juga bisa menguji kebenaran dan relevansinya. Keterampilan ini pula yang nantinya akan menjadi modal besar ketika mereka dewasa kelak. 

Dunia abad 21 akan penuh dengan teknologi canggih tapi manusia tetap dibutuhkan untuk membuat keputusan yang etis dan bijaksana. Maka, pendidikan bermutu di era AI bukan hanya soal mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi juga tentang membangun pendidikan karakter. Anak-anak yang sejak dini terbiasa jujur, bertanggung jawab, dan berpikir kritis akan lebih siap menghadapi dunia yang penuh dengan teknologi canggih. 

Fenomena siswa zaman now meski masih SD tapi sudah mengenal mesin pencarian AI. Itu sebenarnya adalah sinyal positif. Artinya, mereka peka terhadap perkembangan zaman. Tinggal bagaimana kita sebagai tenaga pendidik dan orangtua mengarahkan mereka.

Jika diarahkan dengan tepat maka mereka akan tumbuh menjadi generasi kreatif yang mampu memanfaatkan teknologi untuk kebaikan. Tapi jika dibiarkan, mereka bisa saja terjebak dalam budaya instan yang hanya mengandalkan jawaban AI.

Teknologi memang bisa membuat belajar lebih mudah tapi nilai kejujuran dan tanggung jawab tetap harus dijaga. Sebab pendidikan bermutu bukan hanya tentang menyiapkan anak agar pintar secara akademik. Tetapi juga agar mereka menjadi manusia yang utuh, berkarakter, dan bermanfaat.

Oleh karena itu, kita semua perlu bersinergi untuk menyiapkan anak menghadapi masa depan. Bukan dengan melarang teknologi tetapi dengan mengajarkannya cara bijak mengelola teknologi.

Celetukan siswa tentang ChatGPT tadi bisa kita anggap sebagai pengingat bahwa masa depan sudah ada di depan mata. Generasi muda siap menyambutnya. Dan tugas kita adalah memastikan mereka melangkah dengan benar, dengan bekal ilmu, karakter, dan kebijaksanaan. Insya Allah.

Semoga ini bermanfaat.

Literasi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun