Kita tidak bisa memungkiri bahwa teknologi adalah bagian dari hidup. Tapi yang bisa kita lakukan adalah menyeimbangkannya dengan aktivitas fisik dan interaksi sosial seperti yang ditawarkan permainan tradisional.
Acara seperti ini membuktikan bahwa masyarakat masih memiliki minat besar terhadap warisan budaya. Tantangannya adalah bagaimana mengemas permainan tradisional agar tetap relevan di era sekarang.
Sekolah juga bisa mengambil peran penting. Bayangkan jika setiap sekolah memiliki hari permainan tradisional setiap sepekan sekali. Anak-anak bisa belajar sambil bergerak, berinteraksi, dan tertawa bersama.
Keberlanjutan permainan tradisional
Bagi para orangtua yang mengajak anak bermain permainan tradisional bisa menjadi alternatif bonding yang menyenangkan. Tidak perlu tempat luas, yang penting ada kebersamaan dan keceriaan.
Saya teringat cerita seorang teman yang memainkan congklak dari bahan daur ulang bersama anaknya. Awalnya hanya untuk mengisi waktu tapi akhirnya menjadi rutinitas yang selalu dinanti.
Event ini bisa menjadi inspirasi. Apalagi permainan tradisional bisa menjadi jembatan antara generasi tua dan muda. Bayangkan, seorang kakek mengajarkan cucunya bermain gasing. Kakek bercerita bagaimana dulu ia membuat gasing lalu memainkannya bersama teman-teman. Cerita seperti ini memperkuat ikatan keluarga.
Bagi anak, pengalaman itu akan membekas. Mereka mungkin akan menceritakan kembali ke teman-temannya atau bahkan mencoba membuat permainan serupa. Inilah cara sederhana melestarikan budaya.
Selain itu, permainan tradisional bisa mengajarkan anak tentang keberlanjutan (sustainability). Sebagian besar permainan ini dibuat dari bahan alami atau barang bekas tanpa sampah berlebihan. Semua ramah lingkungan dan tahan lama, tidak seperti mainan plastik yang mudah rusak.
Melihat antusiasme di Kenduri Riau, saya percaya bahwa permainan tradisional bisa "bangkit" lagi jika mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, sekolah, hingga komunitas.