Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia. Buku: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri. BT 2022. KOTY 2024.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Sekolah atau Ujian Moral dan Mental

20 Mei 2025   14:10 Diperbarui: 21 Mei 2025   09:48 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Refleksi ujian asesmen penilaian hasil belajar siswa dan saatnya jujur jadi nilai tertinggi. (Foto: AKBAR PITOPANG)

Pelaksanaan Ujian Sekolah tingkat SD di Kota Pekanbaru telah selesai dilakukan. Di banyak sekolah, suasana ujian terasa lebih lega. Siswa pun tampak tersenyum lebih lepas. Namun, ujian yang selesai bukan berarti segalanya selesai. Justru inilah waktu yang paling penting yakni refleksi. Ya, momen untuk melihat ke belakang mengevaluasi apa yang sudah terjadi. Dan bersiap untuk melangkah lebih baik ke depan.

Proses pengoreksian lembar jawaban tentu akan segera dimulai. Guru-guru akan menelaah satu per satu kertas ujian untuk mencari angka dan jawaban yang sesuai.

Namun, pendidikan sejatinya bukan hanya soal angka-angka di atas kertas. Lebih dari itu, pendidikan adalah tentang pembentukan karakter ---nilai-nilai kejujuran, integritas, tanggung jawab, kepercayaan diri dan kemandirian.

Sayangnya, saat pelaksanaan ujian masih banyak fenomena yang membuat kita mengernyitkan dahi. Misalnya, ketika siswa dengan terang-terangan mencontek atau bertanya pada teman.

Mereka seolah lupa bahwa ujian bukan tentang mencari jawaban tapi tentang menguji sejauh mana proses belajar mereka selama ini.

Fenomena ini menunjukkan bahwa karakter kejujuran belum menjadi budaya. Integrity crisis ini tidak bisa dianggap remeh.

Ketika seorang anak dengan santai mencontek demi nilai bagus maka sadarilah bahwa kita sedang membiarkan lahirnya generasi yang kelak bisa menghalalkan segala cara demi hasil.

Jangan salah bila budaya mencontek hari ini bisa menjelma jadi budaya korupsi di masa depan. Koruptor lahir bukan secara tiba-tiba. tapi tumbuh dari kebiasaan buruk kecil yang tak diperbaiki.

Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Korupsi, suap, nepotisme, dan praktik "orang dalam" masih menjadi realita pahit di banyak sektor.

Jika kita ingin memutus rantai kebusukan ini maka pendidikan karakter harus menjadi garda terdepan. termasuk saat pelaksanaan ujian.

"Guru killer" bukan untuk mengajar, tapi wajib ada saat ujian. (Foto: AKBAR PITOPANG)

Guru itu Penjaga Moral saat Ujian

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mempertegas pengawasan saat ujian berlangsung di sekolah. Jangan beri celah sedikit pun untuk praktik curang.

"Guru killer" ialah istilah yang cukup kontroversial dan dulu istilah ini banyak ditakuti. Tapi apakah benar guru killer tidak dibutuhkan?

Ternyata saat ujian, keberadaan guru killer ---dalam arti pengawas yang tegas dan disiplin tinggi--- sangat dibutuhkan.

Bukan untuk menakut-nakuti tapi untuk menjaga agar ruang ujian tetap steril dari kecurangan.

Berdasarkan pengalaman saya, ketika guru pengawas benar-benar fokus maka para siswa akan berpikir dua kali untuk mencontek.

Sebaliknya, ketika pengawas justru sibuk ngobrol atau asyik scroll medsos maka dijamin ruang ujian jadi ajang kecurangan.

Di titik ini, kita perlu revolusi pengawasan dalam ujian. Ketegasan adalah bentuk kasih sayang jangka panjang.

Jangan biarkan anak-anak tumbuh menjadi generasi yang hanya mengejar hasil. Ajari mereka bahwa proses yang jujur jauh lebih mulia daripada hasil instan penuh kecurangan.

Sayangnya, budaya kita masih sering terjebak pada mentalitas "nilai bagus = anak pintar". Padahal, nilai hanyalah salah satu indikator. Bahkan seringkali ia menipu.

Bisa saja nilai tinggi diraih lewat contekan, tapi siapa yang akan bertanggung jawab terhadap rusaknya nilai moral?

Sekolah harus jadi tempat membangun dua hal: kompetensi dan karakter. Tanpa salah satu diantara keduanya maka hasilnya akan timpang.

Dalam dunia modern, soft skills seperti kejujuran, komunikasi, dan integritas seringkali lebih dicari daripada sekadar IPK tinggi. Maka dari itu, sejak SD, sejak dini, anak harus dibiasakan untuk bersikap jujur. 

Dukungan dari orangtua ajari anak bahwa curang itu kuno dan memalukan. Anak zaman now harus punya integritas. (Foto: AKBAR PITOPANG)
Dukungan dari orangtua ajari anak bahwa curang itu kuno dan memalukan. Anak zaman now harus punya integritas. (Foto: AKBAR PITOPANG)

Bukan Nilainya, Tapi Caranya

Orangtua di rumah juga harus turut andil. Jangan hanya tanya, "berapa nilaimu?" Tapi tanya juga, "kamu jujur saat ujian, kan nak?"

Anak-anak belajar bukan hanya dari guru di sekolah tapi juga dari respons orangtua di rumah. Jika orangtua terlalu menekan soal nilai maka anak bisa terdorong mencontek demi menyenangkan orangtua.

Maka orangtua perlu menjadi mitra sekolah dalam menanamkan karakter. Nilai bagus memang menyenangkan. tapi nilai jujur jauh lebih membanggakan.

Dalam konteks ini, kita perlu dorong lahirnya budaya "jujur itu keren". Jadikan kejujuran sebagai tren, bukan sekadar keharusan.

Guru-orangtua juga bisa mengajak siswa berdiskusi setelah ujian. Tanyakan, apa yang mereka rasakan? Apakah mereka sempat tergoda mencontek?

Ajak mereka mengenali perasaan bersalah itu. Proses ini bisa jadi emotional literacy yang penting bagi perkembangan moral anak.

Dunia pendidikan tidak bisa hanya menjadi pabrik nilai. Ia harus menjadi laboratorium karakter.

Jangan menunggu sampai anak terjebak dalam masalah besar baru kita sibuk menanamkan nilai moral. Sebagaimana isu terkini terkait anak bermasalah masuk barak.

Pendidikan karakter tidak bisa dilakukan secara instan. Ia adalah proses panjang dimulai dari hal kecil. seperti kejujuran saat ujian.

Kita harus sepakat bahwa nilai tanpa kejujuran adalah angka kosong. Sedangkan kejujuran, bahkan tanpa nilai sempurna, tetap berharga.

Bahkan guru akan selalu menghargai anak didik yang mengerjakan sendiri tapi salah, lebih mulia daripada yang nilainya sempurna tapi mencontek.

Indonesia hebat dimulai dari siswa yang berani jujur saat ujian. (Foto: AKBAR PITOPANG)
Indonesia hebat dimulai dari siswa yang berani jujur saat ujian. (Foto: AKBAR PITOPANG)

Bahayanya buat Masa Depan Bangsa

Penanaman nilai ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh sekolah. Butuh sinergi dengan orangtua, masyarakat, bahkan lingkungan digital.

Media sosial juga harus digunakan untuk menyebarkan semangat kejujuran. bukan malah flexing memamerkan jalan pintas yang menggambarkan keberhasilan semu.

Sebab, generasi masa depan Indonesia akan ditentukan dari cara kita mendidik anak hari ini.

Jika kita ingin Indonesia yang bebas korupsi maka mulailah dari ruang kelas, rumah, dan ruang digital. Jika kita ingin pemimpin yang berintegritas maka mulailah dari siswa yang jujur dalam ujian.

Mungkin sekarang masih terasa berat. Tapi ingat, perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang konsisten.

Jangan takut bertindak tegas. Tegas bukan berarti kejam. Tegas adalah tanda cinta dalam mendidik. Itu pelajaran yang akan mereka kenang seumur hidup.

Mari bersama-sama menanamkan nilai yang bukan sekadar angka. Karena dari nilai-nilai itulah akan lahir karakter sejati.

Dan untuk kita semua, ajarkan anak bahwa yang penting bukan jadi juara kelas tapi jadi manusia yang bisa dipercaya.

Mari kita ubah arah pendidikan kita. Dari mengejar angka menjadi membangun karakter. Dari takut gagal menjadi berani jujur.

Karena kelulusan sejati bukan ketika mereka lulus sekolah. Tapi ketika mereka bisa lulus dari godaan untuk curang.

Apakah anda semua sepakat?

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== AKBAR PITOPANG ==

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun