Indonesia sedang diterpa badai pengangguran yang menyentuh angka paling tinggi se-Asia Tenggara. Ironisnya, ini terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam dan memiliki jumlah penduduk produktif terbanyak.
Banyak pihak terkejut, sedih, dan tak sedikit yang menyayangkan melihat kenyataan ini. Bagaimana mungkin negeri yang begitu besar potensinya justru menyimpan catatan kelam soal angka pengangguran.
Jawabannya tentu tak sederhana. Tapi satu hal yang pasti ialah ada yang salah dari sistem ketenagakerjaan dan orientasi pendidikan kita selama ini.
Lapangan kerja yang tak bertambah seiring laju kelulusan pendidikan menjadi bom waktu yang akhirnya meledak. Dan kini, serpihannya kita rasakan bersama.
Perusahaan banyak yang menetapkan syarat kerja terlalu tinggi dan seringkali tak masuk akal. Minimal sarjana, usia maksimal 25 tahun, pengalaman kerja 2 tahun. Ini seperti meminta manusia super.
Padahal mereka yang baru lulus kuliah umumnya belum punya pengalaman dan usianya pun sudah menyentuh 23-25 tahun. Lalu, untuk siapa lowongan itu dibuat?
Tak heran, banyak yang akhirnya memilih kuliah sekadar demi sebuah "jalan ninja" mendapatkan pekerjaan layak. Gelar dan ijazah dianggap tiket emas menuju masa depan cerah.
Bahkan demi menyekolahkan anaknya hingga kuliah tak sedikit keluarga rela menjual sawah, tanah, atau aset berharga lain. Ini pengorbanan besar.
Namun, apa jadinya jika setelah semua perjuangan itu sang sarjana malah berujung menjadi pengangguran? Ini yang dianggap masyarakat sebagai "pengangguran terdidik."
Istilah ini menyakitkan, tapi nyata. Mereka telah belajar bertahun-tahun, lulus, namun tidak terserap oleh dunia kerja. Lalu salah siapa?