Puisi Esai
Akaha Taufan Aminudin
SENJA TERAKHIR BANG OJOL
LANGIT KELABU INDONESIA
Senja Terakhir Bang Ojol
Affan baru usai menutup doa azan Ashar,
ibunya memanggil lirih dari dapur yang redup cahaya:
"Fan, makan dulu nak, jangan tergesa---
nasi ini hangat, hatiku pun ingin kau singgah."
Namun jaket hijau yang mulai lusuh
telah bersuara seperti titah takdir.
Bunyi notifikasi order bagai lonceng perang,
menggiring anak muda itu ke jalan-jalan berdebu,
menuju kota yang tak pernah memberi jeda.
Di usia dua puluh satu,
Affan memikul beban sebesar langit
sejak ayahnya pamit tanpa kembali,
meninggalkan rumah yang kini penuh sunyi.
Motor tua meraung.
Senja jingga bercampur jelaga.
Jakarta sore itu bukan sekadar kota,
melainkan pusaran amarah,
tempat ribuan dada berdegup melawan ketidakadilan.
Affan melaju---
sekadar lelaki biasa
yang tiba-tiba diseret ke pusaran sejarah.
Ban oleng, tubuh terpelanting;
luka jadi doa yang tak sempat terucap.
Lalu datang rantis Brimob,
raksasa baja tanpa mata.
Rodanya berputar bagai nasib yang menolak kasih.
"Berhenti! Ada yang jatuh!"
teriakan manusia ditelan deru mesin,
dan bumi pun menutup telinganya.
Di ujung napas, Affan menatap langit:
ada wajah ibu, ada doa nenek,
ada harap kecil untuk esok yang tak jadi nyata.
"Ya Allah, jagalah Ibu..."
bisik terakhir yang pecah bersama darah.