Mohon tunggu...
Aisyah Ghina Hanindita
Aisyah Ghina Hanindita Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga NIM : 24107030042

Bukan sosok yang pandai berpuisi hanya seorang penulis pemula yang ingin menyampaikan kata - kata melalui sebuah tulisan

Selanjutnya

Tutup

Film

Ketika Penyihir Lebih Ibu dari Ibu Sendiri

8 Juni 2025   21:27 Diperbarui: 8 Juni 2025   21:27 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.imdb.com/title/tt1587310/mediaviewer/rm79087616/

Film Maleficent (2014) garapan Robert Stromberg menawarkan perspektif baru dari kisah klasik Sleeping Beauty karya Charles Perrault. Alih-alih mengangkat cerita dari sudut pandang Putri Tidur, film ini justru menjadikan sosok "penyihir jahat" sebagai tokoh utama, dan mengubah narasi tentang cinta sejati menjadi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar romansa. Melalui hubungan kompleks antara Maleficent dan Aurora, film ini menyoroti kekuatan kasih sayang yang bisa tumbuh tanpa adanya ikatan darah sebuah cinta yang tumbuh dari keterikatan emosional, bukan genetis.

Pada awal cerita, Maleficent adalah sosok peri kecil bersayap yang baik hati dan menjaga negeri Moors. Ia menjalin persahabatan dengan Stefan, seorang manusia yang kemudian mengkhianatinya demi ambisi politik. Stefan tidak hanya mengingkari cintanya, tetapi juga merampas sayap Maleficent simbol dari identitas dan kebebasannya. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam hidup Maleficent, mengubahnya menjadi sosok pahit yang diliputi dendam dan kemarahan. Namun, dari luka itu pula lahir benih cinta yang sama sekali tidak ia duga: cinta kepada anak sang pengkhianat, Putri Aurora.

Kutukan yang dijatuhkan Maleficent kepada Aurora awalnya adalah bentuk balas dendam kepada Stefan. Aurora dijatuhi nasib untuk tertidur selamanya saat usia 16 tahun setelah tertusuk jarum, dan hanya bisa dibangunkan oleh "ciuman cinta sejati". Stefan, yang panik, menyembunyikan Aurora di hutan bersama tiga peri pengasuh. Namun, Maleficent secara diam-diam mengikuti pertumbuhan Aurora dari jauh. Seiring waktu, rasa benci yang dulu membakar hatinya perlahan luntur ketika ia menyaksikan kepolosan dan keceriaan gadis kecil itu. Tanpa disadari, Maleficent mulai peduli, bahkan sering kali turun tangan untuk melindungi Aurora.

Di sinilah kekuatan utama film Maleficent berada. Hubungan antara Maleficent dan Aurora berkembang menjadi gambaran kasih sayang yang tulus dan mendalam, meski tidak memiliki ikatan darah. Maleficent bukan ibu kandung Aurora, tetapi ia menghadirkan figur pelindung, bahkan lebih dari yang dilakukan oleh peri-peri pengasuh Aurora. Aurora pun, tanpa mengetahui latar belakang Maleficent, menjadikannya sebagai "perinya" seseorang yang ia percaya dan cintai.

Ketika Aurora akhirnya mengetahui siapa Maleficent sebenarnya dan tentang kutukan yang menantinya, ia merasa kecewa dan patah hati. Namun perasaan itu tidak bertahan lama, karena ia mengenali kebaikan dan kasih sayang yang nyata dalam diri Maleficent. Sebaliknya, Maleficent yang kini benar-benar mencintai Aurora seperti anaknya sendiri berjuang untuk membatalkan kutukan itu, bahkan ketika itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.

Puncak emosional film ini terjadi ketika Aurora akhirnya tertidur karena kutukan, dan Maleficent datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia menyesal, menangis, dan mencium dahi Aurora dengan lembut sebuah tindakan penuh kasih, yang mengejutkan membangunkan sang putri dari tidur kutukannya. Bukan ciuman pangeran, bukan cinta romantis, melainkan kasih sejati dari seorang "ibu" yang lahir bukan dari rahim, tetapi dari ikatan emosional dan pengorbanan.

Melalui kisah ini, Maleficent menolak anggapan sempit tentang cinta sejati yang selama ini didominasi oleh cinta romantis antara pria dan wanita. Film ini justru menunjukkan bahwa cinta yang paling murni bisa hadir dalam bentuk kasih sayang antara dua jiwa yang tidak berhubungan darah. Kasih sayang yang tumbuh dari luka, duka, dan pengampunan. Maleficent tidak hanya menyayangi Aurora, tetapi juga bertumbuh menjadi sosok ibu meski ia tidak pernah melahirkan Aurora secara fisik.

Dalam dunia nyata, tema seperti ini sangat relevan. Banyak orang tumbuh dalam kasih dari orang-orang yang bukan keluarga kandung orang tua asuh, guru, sahabat, atau bahkan orang asing yang hadir di masa-masa sulit. Cinta dan kasih sayang tidak selalu mengikuti jalur biologis; kadang, mereka justru hadir dari pilihan sadar untuk peduli, melindungi, dan mengasihi.

Film Maleficent mengajarkan bahwa cinta sejati adalah tentang ketulusan dan pengorbanan, bukan tentang siapa yang "seharusnya" mencintai siapa. Ia mengajak kita melihat cinta dari lensa yang lebih luas: bahwa kasih sayang bisa hadir dalam berbagai bentuk, dan yang paling mulia adalah cinta yang datang tanpa pamrih, tanpa ikatan darah, tetapi penuh makna.

Dengan pesan kuat dan emosional ini, Maleficent bukan hanya sebuah dongeng ulang. Ia adalah pengingat bahwa di dunia yang keras dan penuh pengkhianatan, kasih sayang sejati bisa muncul dari tempat yang tidak terduga bahkan dari hati seorang "penyihir jahat". Dan itu, mungkin, adalah keajaiban sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun