Ketika Harapan Diabaikan: Tak Ada Undangan Furoda, Tapi Kerugian Nyata
Setiap tahun, menjelang musim haji, biro perjalanan di Indonesia mulai menyusun strategi operasional untuk berbagai jalur pemberangkatan, ONH Plus/Haji Khusus, hingga jalur undangan atau Haji Furoda. Jalur terakhir ini kerap dianggap sebagai opsi paling cepat bagi mereka yang tidak ingin menunggu antrean bertahun-tahun.
Namun, musim haji 2025 menjadi titik balik penuh kepahitan. Harapan yang semula begitu tinggi seketika runtuh saat Pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk tidak menerbitkan visa mujamalah atau undangan Furoda sama sekali.
Bagi para jemaah, ini berarti batal berangkat. Tapi bagi biro perjalanan, dampaknya jauh lebih dalam: kerugian finansial yang signifikan.
Banyak biro sudah menyiapkan miliaran rupiah untuk deposit tiket pesawat dan reservasi hotel di Makkah dan Madinah. Langkah ini biasanya diambil untuk mengamankan slot premium sebelum kehabisan.
Namun, ketika visa tidak juga turun hingga tenggat akhir, dana tersebut hangus. Tak ada refund penuh. Tak ada mekanisme reschedule. Inilah bentuk kerugian nyata yang selama ini luput dari sorotan media dan publik.
Tidak sedikit biro yang terpaksa menggunakan dana talangan atau meminjam ke bank untuk mengantisipasi pembiayaan awal ini. Ketika realitas berkata lain, mereka tidak hanya kehilangan uang, tapi juga kehilangan reputasi dan kepercayaan jemaah.
Harapan yang disandarkan pada janji undangan Furoda berubah menjadi beban berat yang tak ringan ditanggung sendiri.
Hotel dan Maskapai Menang Dua Kali: Pegang Uang, Tapi Bebas Kewajiban
Di tengah ketiadaan visa Furoda, kerugian terbesar justru tidak ditanggung oleh pihak yang paling diuntungkan dari sistem ini: hotel dan maskapai.
Biro perjalanan yang sudah membayar uang muka bahkan pelunasan penuh kepada penyedia jasa akomodasi dan penerbangan justru menjadi pihak yang paling dirugikan.
Padahal, jika ditinjau secara logis dan moral, hotel dan maskapai sejatinya telah memperoleh keuntungan dobel, mereka mendapatkan arus kas miliaran rupiah jauh hari sebelum musim haji tanpa harus mengeluarkan jasa apa pun, dan pada saat pembatalan, mereka tidak punya kewajiban untuk mengembalikan dana itu.
Sistem non-refundable yang mereka terapkan ibarat pedang bermata satu, tajam ke arah biro, tumpul ke arah penyedia. Mereka memegang dana besar yang seharusnya menjadi bentuk kontrak atas jasa, namun saat visa Furoda tidak keluar, jasa tidak diberikan, dan uang tetap mereka pegang.
Bahkan tidak ada klausul yang mengatur bahwa dana tersebut bisa dialihkan untuk musim haji tahun berikutnya. Padahal haji adalah ibadah tahunan yang pasti akan berulang. Mengapa tidak ada opsi reschedule? Ini membuat biro perjalanan seperti menjadi investor tanpa imbal hasil, bahkan tanpa perlindungan.
Hotel dan maskapai menikmati keuntungan dari sistem yang timpang ini. Mereka bebas risiko, sementara biro perjalanan menanggung ketidakpastian politik, diplomatik, dan administratif yang sepenuhnya berada di luar kendali mereka.
Di saat bisnis maskapai dan perhotelan global sedang menurun pasca-pandemi, dana dari biro perjalanan paket Furoda justru menjadi aliran modal segar tanpa bunga. Inilah ketimpangan yang tak bisa lagi dibiarkan berlangsung terus-menerus.
Pelanduk di Tengah Dua Gajah: Travel Haji Terjepit Antara Janji dan Realita
Dalam posisi yang serba salah, biro perjalanan haji, khususnya penyelenggara jalur Furoda, menjadi pelanduk yang terjepit di antara dua gajah besar: harapan jemaah dan ketidakpastian sistem.
Di satu sisi, mereka menghadapi desakan calon jemaah yang telah membayar mahal dan berharap bisa berangkat tahun ini juga.
Di sisi lain, mereka dihadapkan pada realita yang kejam: undangan Furoda dari Pemerintah Arab Saudi tidak turun, tanpa ada kepastian kapan akan kembali tersedia. Travel bukan hanya dipaksa menjadi eksekutor, tapi juga tameng emosional dari amarah, kekecewaan, dan gugatan para jemaah yang merasa dirugikan.
Dalam dilema ini, ada dua strategi yang biasa digunakan biro. Pertama, mereka yang mengambil risiko dengan membayar deposit tiket dan hotel lebih awal demi mengamankan slot, berharap visa akan menyusul.
Namun saat visa tak keluar, mereka kehilangan dana dalam jumlah besar, reputasi tergerus, dan rawan dituduh penipuan. Kedua, mereka yang menunggu kepastian visa terlebih dahulu.
Tapi pilihan ini juga tak mudah, karena mereka berisiko kehilangan kuota kamar dan seat, serta dianggap tidak siap oleh calon jemaah. Apa pun langkahnya, tetap ada sisi yang dikorbankan.
Keputusan yang diambil biro perjalanan seringkali bukan soal keberanian atau kelalaian, melainkan hasil kalkulasi dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Namun ketika kondisi diplomatik berubah, atau keputusan unilateral datang dari otoritas Saudi, semua kalkulasi itu ambruk.
Tidak ada institusi resmi yang bisa dimintai kepastian. Di titik ini, biro perjalanan bukan hanya pelaksana ibadah, tetapi juga aktor yang menanggung dampak struktural dari ketidakjelasan sistem.
Saatnya Ada Kebijakan: Jangan Biarkan Travel Jadi Tumbal Setiap Tahun
Realita pahit yang menimpa biro perjalanan haji dalam kasus visa Furoda yang tak kunjung terbit seharusnya menjadi alarm bagi negara. Tidak bisa lagi dibiarkan travel menjadi tumbal setiap musim haji hanya karena mereka beroperasi di wilayah abu-abu regulasi.
Negara memang tidak mengatur secara langsung penyelenggaraan Haji Furoda, karena itu merupakan ranah undangan dari Pemerintah Arab Saudi. Namun, bukan berarti negara bisa lepas tangan sepenuhnya.
Perlu ada kebijakan yang memberi batas, perlindungan, dan kejelasan dalam operasionalisasi jalur ini. Jika tidak, maka setiap tahun akan terus muncul korban baru, baik dari kalangan jemaah maupun pelaku usaha.
Pemerintah dapat memulai dengan menyusun regulasi nasional yang mewajibkan adanya transparansi kontrak, pembatasan pembayaran sebelum visa keluar, serta skema escrow atau rekening penampungan khusus bagi dana jemaah yang belum dijamin visanya.
Selain itu, pemerintah bisa mendorong terbentuknya kemitraan antara asosiasi travel haji dan maskapai serta jaringan perhotelan agar kontrak-kontrak kerja sama tidak lagi bersifat timpang dan memberatkan satu pihak saja.
Negara juga dapat membentuk mekanisme perlindungan konsumen haji non-kuota yang berfungsi sebagai mediasi jika terjadi sengketa antara jemaah dan travel, sekaligus sebagai pengawas etik dan operasional.
Jika Furoda terus dibiarkan berjalan dalam kekosongan hukum, maka akan tercipta ruang spekulasi dan praktik rente yang merusak wajah ibadah itu sendiri. Ini bukan soal campur tangan negara terlalu dalam, tapi soal negara hadir melindungi warganya dari kerugian yang berulang dan tidak perlu.
Di Balik Hangusnya Deposit, Ada Sistem yang Perlu Diperbaiki
Kasus visa Furoda yang tidak terbit tahun ini bukan hanya cerita tentang jemaah yang gagal berangkat ke Tanah Suci, melainkan juga cermin dari rapuhnya sistem penyelenggaraan haji non-kuota yang belum berpihak pada keadilan dan kepastian.
Ketika deposit hotel dan tiket pesawat hangus, yang sesungguhnya terjadi adalah pembiaran terhadap kerugian sistemik yang menimpa biro perjalanan.Â
Mereka bukan hanya kehilangan dana, tetapi juga menjadi sasaran kemarahan jemaah, berpotensi digugat secara hukum, bahkan tidak sedikit yang harus gulung tikar. Semua itu terjadi dalam senyap, karena tidak ada kerangka regulasi yang secara jelas melindungi mereka.
Sementara itu, pihak-pihak besar seperti maskapai dan hotel menikmati posisi dominan. Mereka bisa memegang uang miliaran tanpa kewajiban untuk mengembalikannya, meskipun jasa tak pernah diberikan.
Situasi ini memperlihatkan adanya ketimpangan yang akut dalam relasi bisnis, yang jika terus dibiarkan akan merusak ekosistem ibadah haji secara keseluruhan. Jangan sampai ibadah yang suci ini justru menjadi ladang kerugian karena absennya peraturan yang adil.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem ini diperbaiki. Diperbaiki bukan untuk menghalangi jalur Furoda, tetapi untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi semua pihak.
Negara harus hadir, minimal sebagai penjaga etika dan kepastian kontraktual, agar bisnis haji berjalan secara sehat dan bermartabat. Karena pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya uang, tapi juga kepercayaan umat dan integritas ibadah itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI