Namun saat visa tak keluar, mereka kehilangan dana dalam jumlah besar, reputasi tergerus, dan rawan dituduh penipuan. Kedua, mereka yang menunggu kepastian visa terlebih dahulu.
Tapi pilihan ini juga tak mudah, karena mereka berisiko kehilangan kuota kamar dan seat, serta dianggap tidak siap oleh calon jemaah. Apa pun langkahnya, tetap ada sisi yang dikorbankan.
Keputusan yang diambil biro perjalanan seringkali bukan soal keberanian atau kelalaian, melainkan hasil kalkulasi dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Namun ketika kondisi diplomatik berubah, atau keputusan unilateral datang dari otoritas Saudi, semua kalkulasi itu ambruk.
Tidak ada institusi resmi yang bisa dimintai kepastian. Di titik ini, biro perjalanan bukan hanya pelaksana ibadah, tetapi juga aktor yang menanggung dampak struktural dari ketidakjelasan sistem.
Saatnya Ada Kebijakan: Jangan Biarkan Travel Jadi Tumbal Setiap Tahun
Realita pahit yang menimpa biro perjalanan haji dalam kasus visa Furoda yang tak kunjung terbit seharusnya menjadi alarm bagi negara. Tidak bisa lagi dibiarkan travel menjadi tumbal setiap musim haji hanya karena mereka beroperasi di wilayah abu-abu regulasi.
Negara memang tidak mengatur secara langsung penyelenggaraan Haji Furoda, karena itu merupakan ranah undangan dari Pemerintah Arab Saudi. Namun, bukan berarti negara bisa lepas tangan sepenuhnya.
Perlu ada kebijakan yang memberi batas, perlindungan, dan kejelasan dalam operasionalisasi jalur ini. Jika tidak, maka setiap tahun akan terus muncul korban baru, baik dari kalangan jemaah maupun pelaku usaha.
Pemerintah dapat memulai dengan menyusun regulasi nasional yang mewajibkan adanya transparansi kontrak, pembatasan pembayaran sebelum visa keluar, serta skema escrow atau rekening penampungan khusus bagi dana jemaah yang belum dijamin visanya.
Selain itu, pemerintah bisa mendorong terbentuknya kemitraan antara asosiasi travel haji dan maskapai serta jaringan perhotelan agar kontrak-kontrak kerja sama tidak lagi bersifat timpang dan memberatkan satu pihak saja.