Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanda Cinta

23 Desember 2019   15:10 Diperbarui: 12 Januari 2022   08:36 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perasaan semacam itu tentu bukan pertama kali. Setiap kali pikiranku terganggu oleh hal semacam itu, aku berusaha mengabaikannya. Perasaan yang sangat sulit dilukiskan bentuknya. Secara logika, aku selalu menyadari bahwa diriku dan Rizaldy pasti akan berpisah, tetapi hati ini tak mau tahu, inginnya terus bersama dan selalu terbuka untuk menjadi lebih dekat. Perasaan takut kehilangan dirinya selalu menjadi pengantar tidurku setiap malam. Dan ketika hari berganti, aku kembali melupakannya.

\===/

"Beliau staff khusus rektor, kan?" tanyaku kepada Rizaldy sambil memakai sepatu. Kami sedang duduk di serambi masjid kampus. Mendengar pertanyaanku, Rizaldy nampak bingung sehingga aku kembali berujar, "Bapak yang ngobrol sama kamu barusan."

"Oh, iya. Pak Riza namanya," jawab Rizaldy singkat dan tak bersemangat.

"Pak Rizal." Aku membenarkan, Rizaldy spontan menoleh padaku, bertanya bagaimana aku bisa tahu melalui isyarat dahi yang berkerut.

"Beliau sering jadi imam salat magrib jamaah di musola rektorat. Dosen agamaku waktu semeter satu."

"Oh, pantesan ...."

"Pantesan kenapa?"

"Dia tadi ngajakin aku salat."

Aku membisu. Satu tanganku terulur mengusap punggungnya. Pantas saja jawaban Rizaldy sangat singkat. Aku paham bagaimana rasanya. Tapi sekali lagi, rasa seperti itu sulit digambarkan. Rasa yang muncul ketika aku harus menjelaskan tanpa menyinggung perasaan lawan bicara bahwa aku tidak pergi ke gereja untuk berdoa, atau sebaliknya.

Entahlah, sejak dulu orang-orang lebih sering bertanya padaku, aku sembayang di gereja mana dari pada bertanya apakah aku sudah salat atau belum. Awalnya aku dengan senang hati menjelaskan mengenai keyakinanku pada mereka. Semakin lama dan sering pertanyaan itu muncul, aku menjadi bosan sendiri mengulang kata seirama. Jadi, aku sangat paham bagaimana perasaan Rizaldy. Apalagi semenjak ia dekat denganku, dia sering menemani dan menungguku salat, sehingga tidak jarang ada orang yang menawarinya beribadah jamaah juga dan otomatis Rizaldy harus memberikan penolakan yang sopan. Jangankan orang asing, teman-teman satu kampus pun bersikap serupa. Di situlah titik jenuhnya. Ketika seseorang jelas tahu mengenai cara beribadahmu, tetapi dengan sengaja mengajakmu bergurau, tidakkah itu menyebalkan? Keyakinan bukanlah permainan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun