Mohon tunggu...
NIA
NIA Mohon Tunggu... Penulis - Finding place for ...

- Painting by the words

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanda Cinta

23 Desember 2019   15:10 Diperbarui: 12 Januari 2022   08:36 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah terlintas di benakmu, mengapa dari sekian banyak kisah hidup di dunia ini, kehidupan yang kamu jalani justru tidak sesuai ekspektasi, sedangkan orang lain memiliki kisah yang indah seperti impianmu? Apa kamu tahu jawabannya? Mayoritas orang yang kukenal menjawab sama: sudah takdir.

Lalu, apa takdir itu? Bagaimana sebuah takdir manusia diputuskan? Mengapa dari miliaran manusia yang menghuni bumi, dia yang terpilih untuk dekat denganku?

"Nunggu temannya, Mbak?" Aku menoleh ke sumber suara. Seorang bapak separuh baya tersenyum kepadaku. Aku sadar, sejak tadi beliau memperhatikanku yang suka sekali menilik jam tangan dan gereja di seberang jalan.

"Iya, Pak," jawabku.

"Memang temannya  kemana?"

“Masih kebaktian, Pak."

Bapak itu mengangguk-angguk. Tangannya meracik semangkuk bakso lezat dengan cekatan, lalu membawanya ke meja pembeli yang baru datang. "Mbak nggak ikut?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum tanggung, lantas menggeleng pelan. Kuharap bapak penjual bakso paham bahwa aku tidak tertarik memberikan jawaban secara lisan, atau tepatnya, aku kurang nyaman dengan pertanyaannya barusan. Setelah itu, lensa mataku telah fokus pada laki-laki yang sedang berlari dari gereja di seberang jalan menuju ke arahku dan duduk di dekatku. Seperti biasa, wajahnya selalu terlihat lebih sumringah setelah keluar dari tempat ibadah.

"Untung aja sebelum ke gereja aku makan nasi gorengmu, Sa. Tadi ada penjamuan," ucapnya. Senyum merekah menampilkan barisan gigi yang rapi dan terawat.

Aku ikut tersimpul. "Say thanks to me!"

"Thank you so much!" serunya, "by the way, sudah habis berapa mangkuk bakso nih?"

"Cuma satu ya," dengusku sambil memasang wajah kesal.

"Cuma satu, apa baru satu?"

"Ronde keduanya nanti di mall," timpalku. Kami tertawa hingga suatu panggilan terdengar dan menghentikan suara kami.

"Mau salat di mana? Masjid atau musola di mall?" tanyanya sesaat setelah azan selesai berkumandang. Aku bergumam panjang, meliriknya untuk meminta saran. Dia pun bersuara, "Baiknya sih di masjid."

Aku mengangguk-angguk. "Oke deh!"

"Masjid biasanya, kan?"

Aku mengangguk lagi. Dia mulai bangkit dari tempat duduk. Aku menahan lengannya. "Eh, enggak makan dulu?"

"Enggak deh. Masih kenyang." Dahinya berkerut. Mata indahnya menatapku yang masih duduk anteng. Seringainya pun terbit. "Kenapa? Lisa pengin bungkus seporsi bakso lagi buat dimakan nanti?" tanyanya dengan nada meledek.

"Apaan sih!" Kulempar tisu bekasku ke arahnya. Dia hanya terkekeh, begitu pun aku yang nyengir sembari berdiri.

Kami meninggalkan warung bakso menuju lokasi selanjutnya untuk menunaikan salat zuhur. Sesekali kami berbincang memuji udara. Semilir angin usai hujan teramat sejuk. Sensasi dingin yang membelai wajah ditambah dengan aroma petrikor yang khas berhasil mengusir penat dalam pikiranku. Jangan lupakan juga kehadirannya yang memperindah nuansa di hari Minggu kala itu.

Inilah kami. Lisa dan Rizaldy. Sepasang sahabat yang dalam tanda kutip sudah saling mengenal sejak tiga tahun lalu. Ya, dalam tanda kutip. Itu adalah sapaan untuk kami dari teman-teman satu angkatan di kampus. Mereka sangat tahu—aku dan Rizaldy juga sadar—bahwa dibalik persahabatan kami terpendam rasa yang seharusnya diungkapkan dalam suatu hubungan yang lebih serius. Rasa yang terlahir enam bulan lamanya. Dimulai dari satu kelompok praktikum, sering mengerjakan tugas bersama, makan bersama, pulang bersama hingga menyusun serta mencocokkan jadwal kuliah agar sama. Aku dan Rizaldy juga memiliki banyak kesamaan, seperti menyukai seni dan jenis musik yang sejenis sampai hal sederhana berupa warna dan makanan favorit.

\===/

"Laporan pemetaanmu sudah selesai, Sa?" tanya Nadia suatu malam saat kami berkumpul di ruang TV. Tepatnya, aku yang sedang menikmati acara TV, sedangkan kedua teman kosanku, Nadia dan Gita, sedang berkutat dengan laporan praktikum yang harus dikumpulkan besok sore. Aku mengangguk sebagai jawaban. Gita berseru terpukau. Aku tersenyum bangga.

"Rizaldy juga sudah selesai ngerjain laporannya?" tanya Nadia lagi. Aku bergumam mengiyakan, lalu menoleh ke arah Nadia yang seketika itu pula tersenyum penuh arti sembari menaikkan satu garis alisnya.

"Apa?" tantangku. Nadia suka sekali menggoda soal Rizaldy. Berulang kali dia mempertanyakan hal yang sama. Herannya, aku tidak bosan membalas setiap godaannya, justru setiap kali terlontar kalimat usilnya, bibirku terpancing untuk melengkungkan senyuman.

"Kenapa enggak jadian aja sih?" Pertanyaan andalan milik Nadia ikut terulang. Untuk tipe pertanyaan ini, aku hanya menggeleng kepala.

"Jadian aja dulu. Jalani saja dulu. Gimana nantinya, ya dibahas sambil lalu," saran Nadia.

"Buat apa jadian kalau sudah tahu akhirannya enggak akan bersatu. Seperti mengupas kulit buah belimbing, buang-buang waktu." Gita bersuara. Jarang sekali dia seperti itu. Biasanya dia lebih banyak diam dan menyimak percakapanku dengan Nadia.

"Perbedaan mereka bukan masalah yang mudah untuk dijadikan sama atau satu suara." Gita menoleh ke arah Nadia dan berkata, "Jadi, berhenti godain atau tanya-tanya ke Lisa tentang hal semacam itu."

Nadia mengulum bibir, bungkam. Hening. Tak satu pun dari kami yang bersuara lagi. Hanya suara TV yang terdengar demi menghapus sunyi.

 

Kuputuskan kembali ke kamar, meninggalkan Nadia dan Gita yang entah kapan akan selesai dengan pekerjaan. Aku merebahkan tubuh di ranjang seraya memeluk boneka hadiah ulang tahun dari Rizaldy. Aku belum mengantuk. Alasan kembali ke kamar juga bukan untuk tidur. Ucapan Gita terngiang di pikiranku. Kata-kata 'tidak bisa bersatu' membuatku sedih. Bagai pisau yang menyayat hati, kalimat yang diucapkan dengan ringan itu telah melukaiku.

Perasaan semacam itu tentu bukan pertama kali. Setiap kali pikiranku terganggu oleh hal semacam itu, aku berusaha mengabaikannya. Perasaan yang sangat sulit dilukiskan bentuknya. Secara logika, aku selalu menyadari bahwa diriku dan Rizaldy pasti akan berpisah, tetapi hati ini tak mau tahu, inginnya terus bersama dan selalu terbuka untuk menjadi lebih dekat. Perasaan takut kehilangan dirinya selalu menjadi pengantar tidurku setiap malam. Dan ketika hari berganti, aku kembali melupakannya.

\===/

"Beliau staff khusus rektor, kan?" tanyaku kepada Rizaldy sambil memakai sepatu. Kami sedang duduk di serambi masjid kampus. Mendengar pertanyaanku, Rizaldy nampak bingung sehingga aku kembali berujar, "Bapak yang ngobrol sama kamu barusan."

"Oh, iya. Pak Riza namanya," jawab Rizaldy singkat dan tak bersemangat.

"Pak Rizal." Aku membenarkan, Rizaldy spontan menoleh padaku, bertanya bagaimana aku bisa tahu melalui isyarat dahi yang berkerut.

"Beliau sering jadi imam salat magrib jamaah di musola rektorat. Dosen agamaku waktu semeter satu."

"Oh, pantesan ...."

"Pantesan kenapa?"

"Dia tadi ngajakin aku salat."

Aku membisu. Satu tanganku terulur mengusap punggungnya. Pantas saja jawaban Rizaldy sangat singkat. Aku paham bagaimana rasanya. Tapi sekali lagi, rasa seperti itu sulit digambarkan. Rasa yang muncul ketika aku harus menjelaskan tanpa menyinggung perasaan lawan bicara bahwa aku tidak pergi ke gereja untuk berdoa, atau sebaliknya.

Entahlah, sejak dulu orang-orang lebih sering bertanya padaku, aku sembayang di gereja mana dari pada bertanya apakah aku sudah salat atau belum. Awalnya aku dengan senang hati menjelaskan mengenai keyakinanku pada mereka. Semakin lama dan sering pertanyaan itu muncul, aku menjadi bosan sendiri mengulang kata seirama. Jadi, aku sangat paham bagaimana perasaan Rizaldy. Apalagi semenjak ia dekat denganku, dia sering menemani dan menungguku salat, sehingga tidak jarang ada orang yang menawarinya beribadah jamaah juga dan otomatis Rizaldy harus memberikan penolakan yang sopan. Jangankan orang asing, teman-teman satu kampus pun bersikap serupa. Di situlah titik jenuhnya. Ketika seseorang jelas tahu mengenai cara beribadahmu, tetapi dengan sengaja mengajakmu bergurau, tidakkah itu menyebalkan? Keyakinan bukanlah permainan.

Maka, ketika malam kembali tiba, permasalahan itu menjadi topik obrolanku dengan Nadia dan Gita di tengah acara menyantap nasi goreng rempah.

"Karena dia duduk di sekitaran masjid, jadi orang-orang akan lebih mudah memiliki persepsi kalau dia datang untuk ibadah." Gita beropini. Cukup masuk akal.

"Gimana dengan kasusku? Aku juga sering diajakin ikut kebaktian dan ditanya bergabung di gereja mana dari pada diajakin salat jamaah. Pertanyan kayak gitu sudah terjadi sebelum aku dekat dengan Rizaldy. Meski sekarang dekat pun, aku enggak pernah nunggu dia di depan rumah ibadah saat dia sedang berdoa. Aku pasti lebih memilih untuk menunggu di warung dekat gereja," ungkapku pada sebuah realita yang cukup lama kupendam. "Ah, bahkan waktu awal perkuliahan kalian juga sering banget ninggalin aku salat," tambahku.

"Kalau itu nasibmu sih, Sa!" sarkas Nadia. Dia nyengir memandangku, memastikan aku tidak marah.

"Kalau masalah itu, aku enggak bisa berargumen, orang punya penilaian sendiri. Tapi, kita dulu sering ninggalin kamu salat sendirian karena kukira kamu bukan muslim." Gita tersenyum. Aku memanyunkan bibir, sedih sekali.

"Lebih tepatnya kami ragu ngajakin kamu atau enggak. Jadi, kita putuskan untuk enggak bertanya karena takut kamu akan tersinggung. Tahu sendiri ‘kan, masalah keyakinan di negara kita cukup sensitif dan pribadi." Nadia mengutarakan isi pikiran.

"Sejujurnya, aku menyimpulkan kalau kamu bukan muslim karena kamu enggak berhijab." Kejujuran Gita membuatku terkejut. Semudah itukah menyimpulkan keyakinan seseorang hanya melalui penampilan? Meski begitu, aku mencoba memahami hingga muncul pertanyaan baru.

"Kalau teman-teman yang selalu ngajakin Rizaldy salat padahal udah tahu keyakinannya, itu kenapa?" Jujur saja, aku mencoba menjadi anak polos.

Gita dan Nadia tertawa.

"Itu ‘kan bercandaan anak-anak, Lisa. Kami semua tahu kalian sedang dekat. Kali aja Rizaldy mau pindah. Ya, kan?" Jawaban Nadia sesuai dugaan. Mereka hanya bercanda.

Aku menggeleng tegas. "Rizaldy paling enggak suka kalau dibercandain urusan itu. Tapi dia nggak bisa mengungkapkannya karena menghargai kita. Pada akhirnya, dia mencoba sabar, tapi juga di saat yang sama dia merasa tidak dihargai."

"Oh?" Raut wajah Nadia berubah mendung, merasa menyesal karena termasuk orang yang suka bercanda berlebihan.

"Di awal kedekatan kami, aku juga pernah ngajakin dia ikut salat. Iseng aja ngomong begitu dan enggak ada maksud apa pun. Tapi akhirnya dia nggak ngomong sama aku hampir seminggu. " Aku mengenang kejadian masa lalu. "Untung saja waktu itu aku sakit, akhirnya dia luluh dan kami berbaikan. Setelah kejadian itu, sama sekali aku enggak iseng dengan urusan begitu lagi. Kelewatan juga sih, menurutku."

Nadia dan Gita nampak sepakat.

"Kalau dibalik gimana? Kamu yang diajakin dia." Gita menatapku tajam.

Aku terdiam. Diam yang cukup lama bagi Gita, sehingga dia berkomentar yang membuat diriku tertampar.

"Imanmu tak sekuat dia, Sa. Aku curiga cintamu padanya lebih besar dibanding cintamu pada Sang Pencipta."

Aku tertunduk. Mataku tiba-tiba memanas entah mengapa. "Aku sukanya sama dia. Gimana dong?" Suaraku bergetar. Hatiku terasa sakit.

Tidak ada komentar apa pun yang kudengar. Karena itu aku bersuara, "Bukankah Tuhan juga Maha membolak balikkan hati manusia? Berarti kalau saat ini aku suka sama Rizaldy, itu pun karena kehendak Tuhan dong?"

Gita memiringkan kepala ke kiri. Satu alisnya terangkat, pertanda sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya, lalu berkata pelan, "Tapi manusia tidak pernah tahu dengan jelas maksud dari rencana Tuhan."

"Kenapa dari banyak laki-laki seiman, justru hatiku jatuh ke dia?"

"Tuhan punya rencana. Bisa jadi ini ujian untukmu. Tuhan ingin tahu apakah kamu tetap setia pada-Nya atau lebih memilih hamba-Nya."

"Ujian? Justru saat dekat dengan Rizaldy, aku merasa semakin taat beribadah," belaku. Memang seperti itu adanya. Semenjak mengenal rizaldy, ibadahku lebih tepat waktu. Lima kali sehari. Rizaldy selalu membaca kitab di ponselnya setiap ada waktu luang, karena itu aku juga tertarik melakukan hal sama. Aku mulai menginstal Al-quran di ponsel dan membacanya di sela istirahat kelas. Lantas, mengapa Rizaldy disebut dengan ujian sedangkan dia telah memberikan pengaruh baik untukku?

"Itu ‘kan cuma pendapatku, Sa. Bisa jadi salah, bisa juga benar," timpal Gita.

"Tapi aku jadi penasaran, kalau detik ini juga kami tantang kamu berhijab, apakah kamu bersedia?" Nadia penasaran.

Aku menggeleng.

"Karena belum siap dan merasa belum memantaskan diri ... atau karena Rizaldy?"

Aku terdiam lagi. Aku tak tahu mengapa pembicaraan yang semula ringan menjadi seberat beton. Berhijab? Aku masih ragu mengenakannya karena belum siap, bukan karena laki-laki yang kusuka. Tapi tiba-tiba pikiranku mengacau. Membayangkan aku yang mengenakan kerudung, akankah aku dan Rizaldy tetap bisa dekat?

Percakapan kami berakhir menggantung. Aku tak memberikan jawaban tentang keputusan berhijab. Gita lebih dulu menyudahi pembicaraan agar kami fokus makan.

\===/

"Eits!" Rizaldy menahan tanganku. "Berdoa dulu sebelum makan!" tegurnya.

"Lupa." Aku nyengir, lalu mulai mengangkat tangan setinggi meja di hadapanku, membuka kedua telapak tangan menghadap ke wajah, kupanjatkan doa makan dengan sepenuh hati. Selesai berdoa, kulihat Rizaldy yang belum selesai dalam doanya.

Kuperhatikan matanya yang terpejam, kedua tangan yang mengatup menyatu. Dia nampak kusyuk dalam berdoa. Pernah aku bertanya, doa apa yang ia panjatkan sebelum makan sampai lama sekali. Dia bilang intinya tentang bersyukur karena masih diberikan kenikmatan berupa makanan. Lalu, dia balik bertanya padaku tentang arti doa makan yang kupanjatkan, tapi aku malah kebingungan karena tidak tahu artinya. Alhasil hari itu juga aku mencari terjemahan doa makan, berlanjut hingga membaca terjemahan setiap doa yang dilantunkan saat salat. Rizaldy sungguh membawa perubahan baik untukku, kan?

"Udah pernah ke paralayang?" tanyanya di sela makan siang kami.

Aku mengangguk. "Bukan anak hits Malang kalau belum pernah ke sana," tandasku bangga dengan mulut penuh nasi ayam.

"Ke sana lagi mau?"

Aku memicingkan sebelah mata. "Sesungguhnya aku sedikit menyesal waktu ke sana."

"Kenapa?"

"Sampai di sana cuma lihat pemandangan lampu warni-warni dari ketinggian dan jadi pendonor darah suka rela untuk para nyamuk."

Rizaldy tertawa. "Nggak lihat bintang bertaburan?"

"Tidak ada bintang di langit."

"Itu artinya kamu pergi saat cuaca mendung. Bintangnya tertutup awan. Kalau kita pergi nanti malam, aku yakin akan ada banyak bintang. Cuaca cerah hari ini."

Aku tersungging, berekspresi tak percaya dengan yang dikatakan.

"Percayalah! Aku sempat ambil mata kuliah pilihan meteorologi, jadi bisa membaca pergerakan awan dan menebak cuaca." Rizaldy mencoba meyakinkahku. Tentu saja, aku akhirnya mengangguk. Selesai kuliah pukul delapan malam, kami pergi ke daerah Batu, Malang, menuju Paralayang dengan penuh kegembiraan. Aku tak tahu, bahwa menyetujui pergi dengannya hari itu akan membuatku menyesal dan melalui banyak hari suram.

Tiba di paralayang, kami disuguhkan taburan gemintang di angkasa. Kami memutuskan untuk rebahan di rerumputan menikmati indahnya benda berkelap-kelip. Kami telah memoleskan lotion anti nyamuk, jadi tak perlu khawatir akan mengalami pengurangan darah akibat gigitan nyamuk.

"Enggak terasa ya, sebentar lagi udah libur semester. Setelah itu magang, skripsi dan lulus." Rizaldy memulai obrolan. Aku hanya menggumam. Untuk pertama kali sejak bertemu dengannya, pengelihatanku menemukan pengalihan lain yang lebih indah dari wajah Rizaldy. Bintang.

"Setelah lulus rencanamu apa?"

"Kerja," jawabku.

"Oh, kirain mau nikah."

Aku tertawa. Benar juga. Mungkin itu bagian dari rencana setelah lulus. Beberapa teman kami juga sudah ada rencana menuju pelaminan, termasuk Gita dan calon suami hasil taarufnya tiga bulan lalu.

"Gimana bisa menikah, pasangan belum ada," ucapku. Saat mengatakan itu, hatiku berharap pada sosok Rizaldy. Seketika wajahnya tergambar dalam otakku. Bintang di atas sana jadi tak indah lagi.

Rizaldy tertawa. Tawa yang dipaksakan. "Kalau pasangannya aku gimana?" tanyanya kemudian. Itu bukanlah pertanyaan yang bisa dengan mudah kujawab. Aku hanya menoleh padanya tanpa sepatah kata pun.

"Kita ... akan seperti apa?" Dia memperjelas maksudnya. Aku masih membisu.

Rizaldy merubah posisi rebahan menjadi duduk bersila. Aku mengikuti gerakannya. Udara dingin membelai wajahku. Kami terdiam beberapa saat hingga Rizaldy berkata, "Bukan pertama kalinya aku suka dengan seseorang. Tapi, perasaan sedalam ini baru kurasakan denganmu."

Napasku tercekat. Aku tidak berani memandang wajahnya.

"Untuk pertama kali, aku punya keinginan menuju sebuah pernikahan dengan orang yang kusukai. Orang itu kamu."

Aku masih bertahan dalam kebisuan dan mendengar suaranya yang mengalun pelan.

"Lisa ..." panggilnya. Aku tahu dia memanggil namaku sembari menoleh padaku, mengharapkan balasan serupa. Maka, kuberanikan diri untuk menatapnya, serta memaksakan seulas senyuman.

"Hubungan dan kedekatan kita itu sia-sia, begitu kata orang. Tapi yang menjalani adalah kita. Sayangnya, aku enggak bisa memutuskan sendiri. Aku butuh kamu untuk membuat keputusan bersama. Aku butuh dengar suaramu."

"Butuh waktu," jawabku cepat. Pandanganku meluruh ke bawah, tapi aku masih bisa melihat bayangan wajahnya. Ujung bibirnya bergerak ke atas. Laki-laki itu ... masih—bisa—tersenyum?

"Tentu butuh waktu untuk membuat keputusan terbaik. Aku akan menunggu." Suaranya terdengar sangat teduh, memancing kepalaku untuk tegak kembali, sekadar memberikan senyuman terima kasih karena telah memahami.

Setelahnya, tidak ada yang berubah dalam hubungan kami. Tetap dekat seperti biasanya. Tak pernah sekali pun menyinggung urusan hati, kecuali otak dan perasaanku sendiri yang bertanya padaku, menagih jawaban setiap waktu. Membuatku galau berkepanjangan macam sakit menular. Waktu berlalu sangat cepat. Kami tiba di semester akhir. Berjuang dengan skripsi.

Tidak ada yang berubah dengan hubungan kami. Tetap dekat seperti dulu. Hanya saja sejak malam itu, aku terjerat bersama bimbang. Aku belum memiliki jawaban, takut membuat keputusan. Aku tidak bisa memilih sama sekali. Gita dan Nadia hanya memberiku satu saran: Berdoa yang banyak. Berdoa dengan sepenuh hati.

Kurasa sejak saran itu kudengar, tak satu hari pun aku luput dari salat malam, istikharah. Selebihnya, kujalani hariku seperti biasa. Mencoba untuk selalu seperti biasa. Aku berjuang dengan penelitianku, mengamati mikroorganisme beragam jenis di bawah lensa mikroskop.

"Lucu banget!" seru Nadia dan Gita mengamati makhluk kecil menggemaskan yang disebut plankton.

"Hiburan aku nih di kala jenuh." Aku mengusap-usap mata. Bekerja dengan mikroskop seharian membuat mataku lelah dan gatal. Tak jarang, aku juga merasakan sakit kepala sesaat. Terlepas dari itu, aku bersyukur mengambil penelitian bertema plankton. Aku tak merasa penelitianku menjenuhkan, karena selalu terhibur dengan kehadiran plankton hasil kulturku. Betapa indahnya makhluk mungil tersebut.

"Duh, jatuh cinta nih sama Daphnia. Gemes banget!" Nadia berujar pada Gita.

"Makhluk imut ciptaan Tuhan," tambahku. Keduanya setuju.

Benar. Kita semua pun makhluk ciptaan Tuhan. Pikiran seperti itu terlintas tiba-tiba. Tak hilang hingga pulang sampai kosan, justru semakin meluas usai aku menunaikan ibadah isya. Tuhan yang menciptakan, yang memberikan nyawa dan memutuskan batas waktu hidup hamba-Nya. Tuhan lebih tinggi derajatnya dibanding makhluk-makhluk-Nya. Dan aku sedang bimbang dengan pilihan di antara keyakinanku untuk Tuhan atau manusia?

\===/

"Kalian mulai kapan berhijab?" Pertanyaanku terlontar setelah kutahan selama beberapa hari, untuk Gita dan Nadia. Kami sedang menonton film, melupakan kekecewaan karena batal bimbingan skripsi.

"Eh, bukannya pernah cerita sebelumnya ya?" Nadia menjawab dengan pertanyaan lain. Aku menggeleng.

"SMA kelas 3 semester 2," sahut Gita sambil mengunyah cemilan kacang bawang. Pandangannya masih lurus tertuju pada layar laptop.

"Aku lupa." Nadia tertawa. Anak ini memang sudah pikun, tapi baiknya luar biasa. Aku mengibaskan tangan, memberinya isyarat agar tidak perlu mengitung mundur masa lampau dengan jari-jarinya dan melanjutkan menonton film.

"Lisa pengin berhijab?" tanya Gita setelah kuputuskan untuk tak mengganggu acara menonton kami.

Lama terdiam, aku mengangguk pelan. "Tapi belum siap."

"Kesiapan itu akan terbentuk sendiri jika kamu sudah memutuskan kok, Sa." Nadia membelai rambutku.

"Niat baik itu kalau bisa segera dilaksanakan. Mungkin kalimat itu akan sedikit membantumu untuk mengambil keputusan," ujar Gita sambil merangkul bahuku. Dia tidak lagi terfokus pada adegan film. Dia memandangku penuh keteduhan di matanya. Aku hanya bisa mengangguk.

Bulan kembali berlalu, penelitianku telah usai. Aku mengadakan seminar hasil penelitian skripsi dihadiri dosen pembimbing dan teman-teman dengan tampilan baru. Aku memakai hijabku. Hari perdana.

Aku gugup dengan seminarku, tentu. Namun, ada hal yang membuatku lebih gelisah. Aku memikirkan Rizaldy. Kami tidak bertemu selama satu minggu karena dia pulang ke kampung halaman. Selama tak bertemu, kami hanya terlibat obrolan ringan seperti biasa melalui pesan chat dan telepon. Dia sempat bilang kemungkinan tidak bisa hadir di seminarku sebab masih ada acara keluarga. Kubilang tidak masalah. Kukatakan padanya, bahwa masih ada banyak hari untuk kita bertemu. Selebihnya, aku tidak menyinggung urusan hijab. Tidak sekali pun kuungkapkan pemikiran mengenai hal itu. Begitu pun saat keputusan bulat kuambil, dia tidak tahu.

Jadi, aku sedikit lega karena dia berhalangan hadir di seminar. Hati kecilku masih takut kehilangan dirinya, karena di hari ketika dia melihatku mengenakan hijab, saat itu pula aku memberinya sebuah jawaban pada pertanyaan yang telah lama usang.

Tepuk tangan terdengar saat moderator mengakhiri acara seminar. Pintu yang tertutup kini terbuka, satu per satu teman mengucapkan selamat atas tahap yang telah kulewati, begitu pun dua dosen pembimbingku yang turut memberikan ucapan serta menyemangati bahwa aku semakin dekat dengan kelulusan.

Aku tak lelah menebar senyuman pada semua orang. Mengucapkan terima kasih karena telah menyempatkan waktu untuk datang. Hari seminar akan menjadi salah satu bagian terindah dalam hidupku, hingga sang waktu mengantarkanku pada sebuah fakta.

Jantungku berdegup kencang. Napas pun terasa sulit. Tubuhku menjadi tegang. Semua terjadi karena kedua manikku menangkap kehadiran Rizaldy di depan pintu. Dia tersenyum padaku. Senyum yang senantiasa menawan, juga kurindukan. Surai gelapnya dipangkas menjadi lebih pendek dan rapi. Sangat tampan mengenakan kemeja biru laut yang lengannya dilipat setinggi siku.

Kami saling bertatap dalam diam, dengan posisi berjarak. Hingga saat dia melangkah pelan mendekatiku, mataku mulai berkaca-kaca. Rizaldy berdiri tepat di depanku membawa sebuah tas kado kecil dan setangkai bunga mawar. Seharusnya aku segera menyapa seperti hari biasa dengan senyuman riang. Tapi yang kulakukan hanya bungkam dan tak berkedip menatap keseluruhan wajahnya.

"Selamat atas seminarnya. Maaf datang terlambat. Kamu cantik sekali hari ini," katanya seraya menyerahkan bunga dan hadiah kepadaku. Tepatnya, dia meraih tanganku dan membimbingku untuk menerimanya. Aku menundukkan kepala, memperhatikan pemberiannya. Saat itulah, air mataku menetes. Karenanya, aku tidak bisa mengangkat wajahku kembali.

"Lisa," panggilnya lembut. Dia menyentuh bahuku, mengeratkan genggaman seolah memberikan kekuatan. Maka, aku berusaha untuk menghadapi takdirku dengan keputusan yang kubuat, dengan segala rasa takut tentang kehilangan.

"Aku punya jawaban untuk pertanyaanmu," kataku diiringi lelehan air mata.

Rizaldy mengangguk. Seulas senyum masih tertinggal di parasnya. "Aku tahu. Aku sudah melihatnya,”lirihnya.

Kami terdiam.

"Terima kasih ya," ucap Rizaldy. Bulir air mata mengalir di pipinya. Aku dibuat nanar sekadar menyaksikannya seperti itu. Sakit sekali rasanya, seperti luka yang terkena percikan cuka. Perih sekali.

"Maaf," ucapku tertatih. Sungguh, aku tidak mampu lagi membendung air mataku sendiri. Jadi, kubiarkan mereka berderai sepuasnya, berharap kesakitan ini segera pergi. Rizaldy kembali mengeratkan genggaman di bahuku. Kupandang laki-laki baik hati di hadapanku. Wajahnya penuh penerimaan.

"Tidak ada maaf untuk sebuah keputusan terbaik. Oke?"

Aku terisak. Rizaldy mendudukkanku di kursi, sedangkan dirinya berlutut di depanku. Tangannya yang lembut menyeka sisi wajahku yang basah.

"Kelak luka ini akan sembuh, Lisa. Kisah ini akan tetap menjadi bagian yang indah untuk dikenang. Kamu akan tertawa mengingat air matamu yang tumpah hari ini. Tuhan punya rencana untuk kita," ucapnya bernada lembut. Dia terus menemaniku hari itu. Menunggu sampai air mataku terhenti. Menunggu sampai diriku merasa lebih baik. Setelahnya, Rizaldy mengantarku pulang. Aku tidak pernah menyadari bahwa tindakan itu akan menjadi yang terakhir kalinya. Dinding tinggi yang terbangun di antara kami sejak awal, kini terlihat sangat jelas.

Bunga mawar darinya kuletakkan dalam gelas kaca berisi air, kutempatkan di atas meja belajar. Perlahan kubuka tas kado pemberiannya, kukeluarkan isinya. Sebuah kain panjang panjang merah muda dengan motif bunga sederhana di bagian ujung, cantik sekali. Bersamaan saat aku mengeluarkan kerudung itu, sepucuk kertas lipat kecil menempel di atasnya.

'Tuhan adalah segalanya. Aku berdoa untuk kebahagiaanmu.'

Aku tersenyum membaca kalimat itu. Tersenyum miris diiringi air mata. Bukan lagi perih yang terasa. Bukan karena hatiku sedang terluka. Namun, aku baru saja menyadari bahwa kalimat tersebut benar adanya. Tuhan adalah segalanya. Maka, dengan keputusan hijab yang kuambil, biarlah menjadi tanda cintaku pada Sang Pencipta.

Tak apa jika aku kehilangan cintaku dan hatiku menjadi patah, aku masih memiliki Tuhan yang kuyakin akan menyatukan kembali patahan itu dan menjadikannya utuh meski dengan bekas retakan terukir di permukaan. Biarlah bekas retakan itu menjadi tanda serta pengingat bahwa tidak satu pun kisah berlalu sia-sia, termasuk hubungan yang kumiliki dengan Rizaldy. Tanpa bantuannya, jika Tuhan tak pernah mempertemukanku dengan Rizaldy, aku tidak akan menjadi seperti Lisa yang sekarang. Tak masalah jika malam itu aku menangis amat banyak. Karena di hari esok aku akan tetap menjalani hidup sebaik mungkin.

Nyatanya, patah hatiku memang berjalan amat lama, tapi aku menikmati setiap rasa. Kurasa Rizaldy juga begitu. Kami bukannya memutus pertemanan, hanya saja membatasi perasaan meski susah payah. Tak masalah, karena sang waktu akan membimbing kami dalam mengobati luka secara perlahan.

Aku tetap tidak tahu bagaimana takdir manusia diputuskan. Aku tidak mau lagi bertanya-tanya tentang hal itu. Tugasku hanya perlu menjalani hidup sebaik mungkin dengan penuh syukur. Aku tidak tahu apa rencana Tuhan selanjutnya untukku, tapi aku percaya apa pun yang diberikan dan kualami adalah yang terbaik, setidaknya pasti merupakan proses untuk menjadi lebih baik.

Pada hari wisuda, Rizaldy menemuiku. Kami saling memberikan selamat atas kelulusan satu sama lain. Lalu, dia berpamitan dengan mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan pendidikan master di Belanda. Usai pertemuan dan perpisahan itu, aku tetap melanjutkan hidup, tentu saja. Aku berjuang mendapatkan pekerjaan, hingga akhirnya dapat menetap di suatu perusahaan yang memberiku jaminan finansial sangat lebih dari cukup.

Aku dan Rizaldy menjalani hidup kami masing-masing. Dan kami tetap menjalin hubungan pertemanan dengan baik. Sampai sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun