Nyatanya, patah hatiku memang berjalan amat lama, tapi aku menikmati setiap rasa. Kurasa Rizaldy juga begitu. Kami bukannya memutus pertemanan, hanya saja membatasi perasaan meski susah payah. Tak masalah, karena sang waktu akan membimbing kami dalam mengobati luka secara perlahan.
Aku tetap tidak tahu bagaimana takdir manusia diputuskan. Aku tidak mau lagi bertanya-tanya tentang hal itu. Tugasku hanya perlu menjalani hidup sebaik mungkin dengan penuh syukur. Aku tidak tahu apa rencana Tuhan selanjutnya untukku, tapi aku percaya apa pun yang diberikan dan kualami adalah yang terbaik, setidaknya pasti merupakan proses untuk menjadi lebih baik.
Pada hari wisuda, Rizaldy menemuiku. Kami saling memberikan selamat atas kelulusan satu sama lain. Lalu, dia berpamitan dengan mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan pendidikan master di Belanda. Usai pertemuan dan perpisahan itu, aku tetap melanjutkan hidup, tentu saja. Aku berjuang mendapatkan pekerjaan, hingga akhirnya dapat menetap di suatu perusahaan yang memberiku jaminan finansial sangat lebih dari cukup.
Aku dan Rizaldy menjalani hidup kami masing-masing. Dan kami tetap menjalin hubungan pertemanan dengan baik. Sampai sekarang.