Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dampak Cancel Culture di Indonesia, Antara Kontrol dan Persekusi

10 Februari 2025   06:00 Diperbarui: 10 Februari 2025   03:55 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cancel culture. (Freepik/benzoix via Kompas.com)

Banyak orang yang akhirnya memilih untuk tidak membahas isu-isu sensitif karena khawatir akan dikecam.  

Perbedaan dengan Negara Lain  

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, cancel culture memiliki karakteristik yang berbeda.  

Amerika Serikat  

Di AS, cancel culture sering kali terkait dengan isu sosial seperti rasisme, pelecehan seksual, atau ketidakadilan politik. Tokoh yang terkena cancel culture bisa kehilangan pekerjaan, tetapi mereka sering kali masih memiliki kesempatan untuk kembali jika mereka bisa menebus kesalahan.  

Australia  

Menurut The Australian, industri seni di negara ini kini lebih konformis akibat tekanan publik. Seniman yang memiliki pandangan berbeda dari arus utama sering kali kehilangan panggung mereka.  

Indonesia  

Di Indonesia, cancel culture lebih sering berkaitan dengan norma agama dan budaya. Seseorang bisa dikritik atau bahkan diproses hukum karena melanggar norma sosial, bukan hanya karena isu politik atau hak asasi manusia.  

Perbedaan ini menunjukkan bahwa cancel culture tidak selalu bekerja dengan cara yang sama di setiap negara. Ada faktor budaya, hukum, dan sosial yang membentuk bagaimana fenomena ini berkembang di masing-masing tempat.  

Bagaimana Mengantisipasi Dampak Negatif?  

Mengingat dampaknya yang besar, penting bagi kita untuk memahami bagaimana menghadapi cancel culture secara lebih bijak.  

1. Mengedepankan dialog terbuka  

Sebelum ikut mengecam seseorang, ada baiknya kita membuka ruang diskusi yang sehat. Jika seseorang melakukan kesalahan, memberi mereka kesempatan untuk belajar dan memperbaiki diri bisa jauh lebih konstruktif.  

2. Meningkatkan literasi digital  

Banyak kasus cancel culture yang berkembang karena informasi yang tidak lengkap atau hoaks. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring informasi dan memahami konteks sebelum ikut dalam gelombang kecaman.  

3. Membedakan kritik dan persekusi  

Kritik yang membangun itu penting, tetapi menyerang seseorang tanpa memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan diri bisa berbahaya. Kita harus bisa membedakan antara meminta pertanggungjawaban dan melakukan persekusi digital.  

4. Peran platform media sosial  

Platform seperti X, Instagram, dan TikTok juga harus lebih aktif dalam mengelola diskusi publik. Fitur pelaporan yang lebih jelas dan moderasi konten bisa membantu mengurangi dampak negatif cancel culture.

Kesimpulan  

Cancel culture di Indonesia adalah fenomena nyata, bukan sekadar tren. Namun, karakternya berbeda dari negara lain karena lebih terkait dengan norma sosial dan agama.  

Fenomena ini bisa menjadi alat untuk menuntut akuntabilitas, tetapi juga bisa berubah menjadi persekusi digital jika tidak dikendalikan. 

Pada akhirnya sebagai netizen, kita harus bertanya ke diri sendiri sebelum melakukan cancel, apakah kita benar-benar ingin memperbaiki keadaan, atau hanya ingin ikut-ikutan menghukum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun