Walau saya hanya beserta teman-teman ASEAN Blogger yang tadi makan di "Omah Sinten," tidak menyaksikan dari awal pementasan. Akan tetapi ternyata saya juga tidak ketinggalan, ya ketika saya berjejalan dengan pengunjung lainnya ternyata sedang adegan Tokoh Timun Mas sedang galau ke Ibundanya.
Bagi semua orang yang tahu dongeng-dongeng cerita rakyat nusantara, pasti juga mengerti apa dan bagaimana cerita Timun Mas. Ringkasnya, dua orang petani yang telah lama tidak mempunyai buah hati, meminta bantuan raksasa "Buta Cakil" agar keduanya mempunyai anak. Raksasa itu mengabulkan dengan syarat ketika Timun Mas berusia remaja, maka ia harus dikembalikan ke raksasa itu.
[caption id="attachment_254911" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu adegan Pentas tari kolosal Timun Mas"]
Singkat cerita, Timun Mas dan kedua  orangtuanya meminta bantuan ke pertapa. Diberilah tiga senjata dari pertapa itu ke Timun Mas yaitu terdiri dari segenggam garam, cabai, dan terasi udang. Puncaknya ketika Buta Cakil mengejarnya, Timun Mas berhasil selamat berkat tiga senjata itu.
Kembali ke pagelaran di Pura Mangkunegaran, cerita dongeng Timun Mas tidak hanya diterjemahkan dengan penampilan berteater tetapi tentu dengan gerak tari bervariasi dari semua lakon panggung yang tampil. Misal, ketiga senjata Timun Mas, di panggung diterjemahkan dengan beberapa penari berkostum seragam yang secara bergiliran dan bergantian mengeliling Buto Cakil seakan ketiga senjata itu hidup bergulat dengan raksasa. Dampak dari penerjemahannya yang hidup itu maka dalam cerita tari itu ada dramatisasi yang bisa dirasakan penonton seperti kelucuan, ketegangan, kekalahan, kemenangan serta dramatisasi lainnya.
Pesan daya magis dari "Pentas Tari kolosal Timun Mas" rupanya berkesinambungan dengan tari yang di Lojigandrung. Yakni setelah diberi "wejangan" berlakulah sopan santun sebagaimana kebanyakan orang Jawa, maka ketika beradaptasi dengan masyarakat Jawa bersiasatlah dengan kejahatan yang kapanpun muncul sebagaimana siasat Timun Mas dan kedua orangtuanya.
Nah ini yang menariknya ketika menghadiri ASEAN Blogger Festival di Solo, saya seakan menemukan makna filosofi Blangkon (topi khas Jawa). Bagi yang menghadiri acara penutupan ABFI di Keraton Kasunanan Surakarta, pasti tahu dua tarian apa yang disuguhkan oleh pihak Keraton Kasunanan. Ya dua tarian itu berjenis tarian perang atau Wireng.
Nama dua tarian itu adalah "Tari Srimpi Moncar" dan "Tari Gatutkaca Dadung Awuk." Kalau Tari Srimpi Moncar  dibawakan oleh empat penari putri, sedangkan Tari Gatutkaca Dadung Awuk ditarikan oleh dua remaja putra.
[caption id="attachment_254912" align="aligncenter" width="640" caption="Para penari Srimpi Moncar memasuki pentas di  dalem Keraton Kasunanan"]
Seperti diketahui, Tari Srimpi Moncar mengambarkan kisah peperangan antara Adanenggar dan Kelaswara yang memperebutkan Wong Agung Menak. Kalau Tari Gatutkaca Dadung Awuk menggambarkan cerita peperangan antara Gatotkaca melawan raksasa penunggu hutan Dadung Awuk. Nah, pesan daya magis kedua tarian itu adalah putra dan putri sama saja, setelah beradaptasi dengan masyarakat Jawa jadilah ksatria yang penuh kelembutan dan daya taktik.
Pesan daya magis dari masing-masing tarian di Asean Blogger Festival (Tari Gambyong Retno Kusumo, Tari kolosal Timun Mas, Tari Srimpi Moncar, dan Tari Gatutkaca Dadung Awuk) saling berkaitan seakan menggambarkan filosofi bentuk Blangkon Jawa. Perhatikan bentuk Blankon Jawa yang datar di depan dan ada "jendolan" dibelakang.