Mohon tunggu...
Ahmad Husen
Ahmad Husen Mohon Tunggu... PENGGAGAS TRILOGI CAHAYA: Lentera Jiwa | Pelita Negeri | Cahaya Semesta

Penulis Trilogi Cahaya: Lentera Jiwa, Pelita Negeri, dan Cahaya Semesta. Menulis untuk menyalakan hati, membangun negeri, dan merajut harmoni semesta. Berbagi kisah, refleksi, dan gagasan yang menuntun jiwa menuju kedamaian yang tak tergoyahkan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

TRILOGI CAHAYA: Bahasa Rahasia untuk Jiwa yang Mendengar

1 September 2025   09:50 Diperbarui: 1 September 2025   09:46 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan adalah bahasa kelembutan. Ia tidak punya cahaya sendiri, namun mampu menerangi malam dengan memantulkan cahaya dari sumber lain. Ia mengajarkan kerendahan hati: bahwa tak perlu menjadi pusat cahaya untuk tetap berguna.

  • Bintang-bintang adalah bahasa harapan. Sekecil apa pun mereka, tetap memberi arah bagi yang tersesat dalam kegelapan.

  • Bukankah hidup manusia pun penuh dengan simbol serupa? Setiap kehilangan adalah musim gugur, setiap kelahiran adalah musim semi, setiap keberhasilan adalah musim panas, dan setiap kesulitan adalah musim dingin. Alam senantiasa menulis ulang kisah kita dalam siklusnya.

    Ketika Bahasa Alam Menyatu dengan Bahasa Wahyu

    Namun, jangan sampai kita berhenti hanya pada tafsir lahiriah. Bahasa alam adalah pintu masuk, tetapi wahyu adalah kunci pembuka.

    Dalam Al-Qur'an, berulang kali Tuhan mengingatkan: "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal." (Q.S. Ali Imran: 190).

    Ayat ini mengajarkan kita bahwa semesta bukan sekadar panorama, melainkan teks kosmik yang menunggu untuk dibaca.

    Alam berbicara dalam bahasa simbol, sementara wahyu memberi terjemahannya. Alam adalah ayat kauniyah, wahyu adalah ayat qouliyah. Bila keduanya dipadukan, jiwa kita akan menemukan bahasa yang sempurna: bahasa cinta Tuhan bagi ciptaan-Nya.

    Mendengar dengan Hati, Bukan Telinga

    Ada kalanya jiwa yang mendengar bukanlah jiwa yang paling pandai atau paling banyak ilmu. Kadang ia justru lahir dari kesederhanaan.

    Seorang petani yang menggenggam tanah basah tahu betul bahwa butir padi tidak tumbuh karena tangannya semata, tetapi karena ada rahasia hidup yang turun dari langit. Seorang nelayan yang menatap cakrawala tahu betul bahwa ombak tak bisa dijinakkan dengan sekadar keahlian, tetapi dengan doa dan penyerahan diri.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
    Lihat Filsafat Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun