Ada sesuatu yang sangat sunyi dalam diri manusia, sebuah ruang yang begitu dalam, tempat asal segala kerinduan bermula. Ia bukan sekadar rasa hampa, bukan pula sekadar kesepian, tetapi sebuah panggilan samar yang terus-menerus mengetuk pintu jiwa: "Kembalilah… pulanglah…". Namun betapa seringnya manusia membiarkan panggilan itu teredam oleh riuh dunia, hingga fitrah—hakikat murni yang dititipkan sejak awal penciptaan—perlahan terlupakan.
Fitrah itu bagaikan api kecil yang ditiup sejak manusia diciptakan. Ia menyala dengan lembut, memberi terang bagi hati yang mencari. Tapi jika manusia terlalu lama berjalan dalam gemerlap palsu, api itu meredup, hampir padam. Maka perjalanan spiritual sejatinya bukanlah mencari cahaya dari luar, melainkan menghembuskan kembali api yang hampir mati di dalam. Artikel ini adalah undangan untuk menggenggam kembali fitrah yang hampir lupa pulang.
Fitrah: Cahaya Pertama dari Keabadian
Sejak ruh ditiupkan, manusia membawa cahaya keilahian yang tak bisa diganti dengan apa pun di dunia. Ia adalah "bekal pulang" yang akan memandu langkah kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan. Fitrah adalah kompas jiwa—penunjuk arah yang tak pernah salah.
Namun dunia sering menawarkan peta palsu: keberhasilan yang diukur dengan angka, cinta yang diperdagangkan, kemuliaan yang dibungkus dalam pangkat. Perlahan, manusia belajar meyakini peta itu. Hingga satu hari, ia tersadar berada di jalan asing, jauh dari rumah asalnya.
Pertanyaan pun muncul: Apakah aku masih ingat jalan pulang? Apakah fitrah itu masih menyala dalam diriku?
Jawaban dari pertanyaan itu hanya bisa ditemukan dalam keberanian untuk berhenti sejenak, menutup mata, dan mendengar suara batin yang nyaris terlupakan.
Dunia: Pasar Ramai yang Membius Jiwa
Ibarat musafir yang berjalan melewati pasar, manusia sering terlena oleh riuh penjual yang menawarkan segala rupa. Ada yang menjajakan kesenangan instan, ada yang menawarkan kebanggaan kosong, ada pula yang menghipnotis dengan mimpi-mimpi semu.
Di tengah pasar itu, fitrah ibarat anak kecil yang menggenggam tangan kita, berusaha menarik kembali agar jangan terlalu jauh masuk. Tapi sering kita mengabaikannya. Kita membiarkan genggamannya terlepas. Kita lebih memilih mengikuti suara yang lebih keras, lebih menggiurkan, meski kita tahu ada janji hampa di baliknya.